Yang Terluka

6 2 0
                                    

Kautahu?
Saat kau terlelap dan melupakan luka, aku masih terjaga untuk memikirkan obatnya.

Jika bisa kita kembali ke masa lalu, aku tetap memilihmu dengan sederet luka yang sama. Namun tak akan kutambah dengan sakit yang kubuat.

Kautahu itu, kan?

***

Pandanganku tertuju pada sosok gagah bertelanjang dada, matanya terpejam, bibir sedikit membuka dan tangan yang menyilang di atas dada. Kutarik ujung bibir dan mengelus pipinya. Sudah lama kami bersama, tapi baru kusadari betapa cinta itu teramat dalam, sehingga merelakan hati terluka demi sederet permintaan kekasih akan dilakukan.

Dia ... ah, terlampau banyak keistimewaan yang tak bisa kugambar. Setidaknya di luar kekurangannya karena tidak ada manusia sempurna, aku memiliki kesetiaan dan perhatian lelaki itu.

"Seharusnya kita bahagia dengan cinta ini, jika benalu-benalu tidak mengganggu," lirihku menerawang beberapa peristiwa yang belakangan mengganggu pikiran sang kekasih.

Angka tiga ditunjuk oleh jarum pendek dalam benda persegi yang menggantung di dinding. Sudah hampir subuh dan mata ini belum mau terpejam sedetikpun? Oke! Kutahu insomnia sedang ingin bersama setelah sekian lama merantau entah ke mana. Dia sedang mengganggu agar diri ini tetap terjaga. Biarlah otak telah menjadi sekutunya. Biar saja dia menang kali ini.

Suara alarm ponsel berhasil mengetuk mata lelaki yang mengucap janji suci tiga tahun lalu.  Dia berkedip-kedip menatap sang istri sedang duduk manis dengan senyum mengembang di hadapannya.

"Sudah subuh?"

Aku hanya menggeleng menjawab pertanyaan itu. Membuat dua alisnya bertaut dan melirik laptop yang masih menyala.

"Dan kamu belum tidur?" Dia bangkit dan melebarkan mata.

"Aku nggak mungkin terlelap sebelum hatimu tenang, Kang."

Lelaki berkumis tipis itu memelukku. "Masih saja memikirkan masalahku dengan orang-orang itu? Sudahlah!"

Aku mengangguk. Mungkin ini yang disebut ujian dalam berumah tangga. Mungkin juga akibat dari kesalahan. Hmm ... aku hanya bisa menjalani semua, berusaha sabar dan ikhlas.

Tapi dia ... ah, mungkin ini sedikit rumit di pikiran seorang introver seperti suamiku. Jika setiap marah lelaki itu hanya diam dan tak berkomentar, saat seseorang memojokkan atau berbeda pemikiran, bukan berarti dia baik-baik saja, 'kan? Tidak mungkin hati itu tak menyimpan luka, bukan?

***

"Bisakah kamu berpikir positif saja, Kang?" tanyaku, saat dia sedang menikmati teh hangat rasa susu coklat yang baru kusajikan. Iya, selera yang aneh menurutku, tapi dia suka mencampur susu coklat ke dalam teh hangat seperti yang dilakukan kakek dulu.

Dia mendesah, manik hitamnya terlempar ke luar jendela yang melukis pemandangan taman rumah kami. Sepertinya taman impianku itu sangat menarik pagi ini.

"Entahlah, Dik. Kalau saja mulut mereka tidak bocor seperti burung-burung Kang Hasan, aku bisa sedikit tenang hidup di desa ini."

"Akang cuma butuh waktu untuk beradaptasi. Perlahan, Kang! Semua tergantung Akang, mau tidak beradaptasi dengan mereka?"

Sunyi. Hanya senyum kecut yang dilempar bersama lirikan tajam ke jalanan. Menyumbat tenggorokanku dengan sesuatu tak terlihat. Tiba-tiba saja terasa mengganjal dan kering, perih. Ah, kenapa juga panasnya sampai ke mata?

Sunyi yang cukup lama itu menarik mataku mengikuti tatapannya. Beberapa orang sedang berbincang dan sesekali tertawa di halaman rumah ibu di seberang sana.

"Bisa kutebak, orang-orang itu sedang menebar gosip murahan. Mereka selalu saja memikirkan kesalahan orang tanpa bercermin pada kesalahan sendiri." Dia memandang kaku ke arahku. "Kita itu tawon di mata mereka. Paham?!"

Ah ... semakin sesak hati ini, bercampur heran dan berujung senyum simpul. Bahkan saat menyebalkan seperti ini dia masih berbicara dengan kiasan? Dasar lelakiku!

"Hah?! Apa kamu bilang? Tawon?" Alisku bertaut. Kutarik wajahnya agar melihat senyum jahil yang kupasang. Dia tertawa ringan.

Apa lagi ini? Aku malah mengajaknya bergurau saat keadaan setegang ini?

"Iya. Di depan kita mereka bungkam, tidak berani memutar kaset rusak agar kita tenang dan mereka bisa mengambil madu, keuntungan, tapi di  belakang ... kamu lihat! Hanya keburukan kita yang akan tampak di sana," bisiknya.

"Oke. Iya, aku paham. Mereka itu ... hmm ...." Urung melanjutkan, kuangkat bahu dan hendak ngeloyor pergi, tapi suaranya menghentikan langkah kaku ini.

"Mereka itu berkepala dua, Dik! Jadi, buat apa kita baik-baik jika akhirnya diri ini akan diinjak-injak? Hidup di sini memang adil, terlalu adil. Yang baik atau tidak, tetap saja buruk di mata-mata jeli itu."

Napasku terasa berat. Selama ini, aku pikir dia benar-benar melupakan semua perlakuan buruk para tetangga. Kupikir, senyum dan tawa saat mereka memojokkan kami itu ... dia berusaha ikhlas dengan bersikap baik-baik saja. Ternyata luka tetaplah luka. Ya, dibalik kediamannya setumpuk kecewa dan perih tak mungkin terus dibendung.

"Sekali lagi aku dengar mereka menghinamu atau aku ...." Dia berpikir sejenak. "Mungkin kita akan pergi dari sini," katanya menyayat hati.

Tidak! Jangan! Hatiku terus berteriak tapi bibir ini tak sanggup berucap. Hanya airmata akhirnya jatuh juga.

"Pergi? Ke mana?"

"Asal bukan di sini dan di rumah Mama. Kita akan memulai semua di tempat baru."

Ya Tuhan, aku ... ah, bagaimana mungkin? Aku tidak mau pergi dari manapun, ke manapun. Jika harus begitu, pasti ada hati yang terluka. Bukan hanya satu, tapi banyak, termasuk hati ibuku. Allah, jangan biarkan kami pergi. Kumohon ....

***

Kidung HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang