Duka Yang Dalam

114 3 0
                                    

Ibu Wartinah melangkah kakinya menuju ke kamar mandi. Badannya merasakan sakit yang luar biasa, perutnya serasa mau dikeluarkan semua, kepalanya juga dirasakan sangat berat untuk diajak berdiri. Mata serasa berkunang-kunang. Baru melangkahkan kaki memasuki kamar mandi terasa kepala sangat berat sekali .

" bruggg...." Tubuh bu Wartiyah terjatuh dan tak sadarkan diri untuk beberapa menit, wajah pucat pasi.

Rahma yang baru ada di dapur mendengar suara benda jatuh berlari mendekati asal suara itu. Alangkah terkejutnya ia mendapati ibunya sudah tak sadarkan diri. Gadis itu berteriak keras memanggil Cak to pembantunya untuk segera membantu menggotong ibunya.

Cak to yang baru membersihkan halaman samping berlari-lari tergopoh-gopoh diikuti isteri yang baru di dapur mendekati suara yang memanggilnya.

"ibu...." Jerit Rahma mendapati wajah ibunya masih dalam kondisi tak sadarkan diri.

Mobil inova melaju ke Rumah Sakit Sarjito, langsung dibawa ke UGD. Semua pada sibuk mempersiapkan alat-alat yang mendukung untuk pertolongan pertama bagi Ibu Wartinah. Selang di pasang di mana-mana.

Untuk beberapa jam ibu Wartinah di masukkan ke dalam ICU, entah pikiran apa yang ada dalam gadis itu. Dicobanya telephone ayahnya dan kedua kakaknya tapi tidak bisa nyambung.

Rahma mendekati ibunya, tadi dokter sempat bilang tensi ibunya 200 dan sepertinya penyakitnya telah menyerang system organ lainnya. Gadis itu hanya bisa pasrah dan berdoa dengan apa yang akan terjadi.

"apakah secepat itu ibu akan di panggil..." bisik hatinya pada dirinya sendiri.

"Tuhan... maafkan aku... aku belum bisa membalas jasa-jasamu ibu..." gadis itu membelai rambut ibunya. Wajah itu tidak bergerak atau membalas tatapan mata anak gadisnya.

Rahma makin tergetar hatinya ketika ada seorang rohaniwan datang. Gadis itu hanya bisa mengeluarkan air matanya. Tak ada orang terdekatnya. Air matanya mengalir deras laksana air bah yang ditumpahkan. Perasaannya begitu berat ia rasakan. Sabar, Pasrah, pasrah dan pasrah yang ia lakukan. Doa yang di panjatkan rohaniwan itu sepertinya memasrahkan jiwa raga Bu Wartinah .

" sabar, ikhlas kamu nak...Semua kembali kepada sang pencipta..." ucapan Laki-laki setengah baya itu membuat Rahma semakin tidak bisa mengendalikan tangisnya.

"oh...Tuhan...ampunilah ibu..." isak tangis kembali dan selalu mengucapkan asma Allah.

Rohaniwan itu telah meninggalkan ruang dimana ibu Rahma dirawat. Tapi isak gadis itu disertai doa doa selalu ia panjatkan disamping telinga ibu Wartinah.

"laa ila ha illallah muhammadur rosulullah...(tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah rosul Allah..." kalimat itu berulang kali ia perdengarkan untuk membantu ibunya yang berada di ambang dua kehidupan. Ambang dimana sakaratul maut akan menjemput ibunya dengan paksa atau dengan hati yang ikhlas untuk kehidupan ini. Gadis itu selalu berdoa semoga kebaikan-kebaikan beliau mengantarkannya ke tempat yang paling indah yaitu surga.

Ya...Rob...

Seandainya saat itu datang...

Seandainya waktu Mu sudah tidak bias diundur

Seandainya kehidupannya telah berhenti

Kumohon padaMu Ya Rob....

Tempatkanlah dia di tempat yang terindah...

Tempatkanlah dia di surgaMu yang paling elok...

Tempatkanlah dia selalu berada dekat dengan Mu...

Rob Yang Maha Hidup...

Aku tak kuasa untuk menolak Mu...

Menolak dengan segala kekuasaan Mu...

Gadis itu tidak berfikir dengan ayahnya, dia tidak berfikir dengan kakak-kakaknya.. yang ia pikirkan saat ini ibunya

Tiba-tiba ibunya membuka mata pelan, seolah-olah ingin mengatakan

"yang sabar anakku...ikhlaskan aku ya..."

Tapi yang ada hanya tatapan mata redup seorang ibu dengan tanpa adanya nyala kehidupan menembus jantung Rahma seakan mengoyak-oyak hingga hancur lebur tak berbekas sedikitpun.

"ih dinasysyiraa talmustaqim (tunjukilah kami jalan yang lurus)..." ucap gadis itu dengan air mata mengalir deras bak sungai yang membanjiri kedua pipinya yang cabi. Di pandanginya wajah yang sudah tidak berdaya dengan usapan di kedua matanya yang seakan ikut merasakan kesedihan putrinya.

Ibu Rahma menggelengkan kepala seakan akan berucap "hentikan tangismu anakku...ikhlaskan aku..."

Detik demi detik seakan cepat sekali berjalan, Rahma merasakan ajal itu sudah semakin dekat dan semakin dekat. Malaikat pencabut nyawa sudah tak terjarak lagi dengan bundanya. Air mata kembali mengalir deras manakala tangannya memegang tangan ibunya yang dingin. Mencoba meraba kakinya, juga sudah dingin. Tersekat tenggorokannya ketika ibunya mengucap

"laa ila ha illallah muhammadurosulullah.... laa ila ha illallah muhammadarosulullah...laaila ha illallah muhammadarosulullah ..." desah nafas kalimah ibu Wartinah mengakhiri kehidupannya dengan menyebut asma Allah, seutas senyum seakan menghiasi wajahnya yang pucat.

Rahma terduduk lemas merangkul tubuh bundanya, jantung, hati, mata,semua system organ sudah berhenti. Alat pemacu jantung yang sudah disiapkan dokter tidak berfungsi untuk memacu system organ yang sudah mati, suntikan pemacu apalagi juga sudah tidak ada hasilnya untuk menolong kesadaran ibundanya yang sudah lepas dari raga.

Bundaku sayang...

Sendiku melemah tak berfungsi melihat engkau menghembuskan nafas terakhir

Ototku melemah tak bertenaga

Kesadaranku berada dititik nol...

Langkahku melayang...

Aku tidak berdaya...

Aku lemah...

Rob...lindungilah hambaMu ini...

Laahaula wala quwata illabilah...

Robbana Atina Fiddunya khasanah wa fil a khirati khasanah waqina 'adzabannar


Tuntunlah Aku Di Jalan-MuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang