Junmyeon Anak Baik

70 4 0
                                    

"Oppa tahu kau tidak tidur semalaman. Oppa pun paham kalau kau tidak akan membuka pintu. Jadi... Mungkin ini akan mengubah perasaanmu. Kalau kau lapar, keluarlah. Oppa sudah menyiapkan sarapan untukmu."

Kudengar langkah kaki suamiku menjauh. Tepat. Sejak kejadian ribut dengan suamiku itu tadi malam, aku tidak dapat tertidur sama sekali. Bahkan hanya sekedar merebahkan tubuhku dikasur empuk bersprei putih bersih ini pun aku enggan.

Tubuhku mati rasa. Otak dan hatiku menolak untuk mengistirahatkan isinya barang sejenak. Tekanan ini seakan memaksaku mengalami insomnia.

Ia tidak akan pernah tahu apa yang terjadi denganku. Perasaanku.

Ya, ini salahmu Jina... Kau harusnya paham. Tak seharusnya kau seperti ini. Kenapa kau harus memperlakukan suamimu sejahat ini? Mengapa kau tega menelantarkan anak-anakmu sampai sejauh ini?

Aku mengangkat kepalaku dari kedua lutut yang kutekuk, memeluknya semalaman hingga tak terasa kram. Memandang lurus ke arah pintu, mataku tertumbuk pada sebuah benda tipis. Sehelai surat lengkap dengan amplopnya tergeletak tak jauh dari pintu.

Penasaran, aku menyeret kakiku untuk mengambil surat itu. Sepenting itukah isi surat ini hingga oppa yakin akan mengubah perasaanku? Cih, sok tahu sekali dirinya itu.

Aku kembali ke ranjang dan membuka amplop berisi surat itu perlahan. Tulisan ini...

"Umma sayang,

aku sangat merindukan umma... kapan umma pulang? Di rumah sepi sekali tidak ada yang menemaniku belajar tiap malam, tidak ada yang membuatkan makanan kesukaanku, tidak ada yang mengusap kepalaku sebelum tidur, tidak ada yang memilihkan baju terbaik ketika aku ingin pergi dan... banyak lagi hal yang membuatku kehilangan umma. Aku tidak ingin bibi, aku hanya ingin umma yang merawatku.

Umma, tahukah umma kalau Juyoon sangat rewel ketika umma pergi? Adik kecil Junmyeon itu menolak semua makanan yang diberikan pengasuh. Jooyoon pun jadi anak pemukul saat ini. Para pengasuh hampir angkat tangan karenanya. Ia tidak mau mendengarkan Junmyeon, umma. Bahkan appa tidak bisa mendiamkan tangisan Juyoon.

Umma... Untuk pertama kalinya dalam hidup ini, Junmyeon melihat appa menangis. Orang yang begitu Junmyeon hormati dan segani meneteskan air matanya. Junmyeon sedih melihatnya... Appa pasti lebih sedih lagi. Junmyeon tahu itu. Appa memikirkan Juyoon, Junmyeon dan juga umma.

Umma... pulanglah. Junmyeon mengerti, tak seharusnya ikut campur urusan orang tua. Tapi... Kami membutuhkan umma. Juyoon, Junmyeon dan juga appa. Junmyeon mohon kembalilah ke rumah. Karena umma tidak bisa digantikan dengan apapun di dunia ini.

Dan lagi umma harus tahu, bahwa appa sangat mencintai umma melebihi dirinya sendiri.. Bahkan umma tidak bisa ditukar dengan wanita lainnya. Pulang ya umma...

Atas nama anakmu, Junmyeon..."

Blank. Tangisanku pecah begitu saja tanpa dapat tertahan lagi. Kepalaku sakit sekali, dadaku teramat sesak.

Kau jahat, Cha Jina! Seharusnya kau tahu ini tidak benar!

Aku harus meminta maaf pada Woojoon. Aku berpikir bahwa aku yang selalu tersakiti, nyatanya suamikulah yang menderita akan luka yang terus-terusan aku goreskan.

Beranjak dari ranjang lantas melangkahkan kakiku menuju pintu, membukanya dan terburu-buru menghambur keluar. "Oppa, aku ingin pul—"

"UMMA!"

Belum sempurna aku menoleh, Junmyeon sudah memelukku erat, "Umma... Aku merindukan umma..." Ia terisak manja, untuk pertama kalinya didepan ibunya ini, masih memelukku," Iya sayang. Umma akan pulang sekarang juga. Maafkan umma ya. Mana Juyoon eum?"

Aku membelai surai hitam Junmyeon, tak dapat kupungkiri kalau air mataku bertambah deras saja keluar dar pelupuk mata ini, "Juyoon bersama pengasuh di rumah. Appa tak mengizinkan untuk membawanya karena cuaca sangat dingin..." Junmyeon menarik tubuhnya dari dekapanku. Hingga memberikanku penglihatan akan seseorang dibelakangnya.

Woojoon. Suamiku.

Aku tergugu. Lidahku kelu dan hanya air mata ini yang menyambut senyuman tulusnya itu hanya untukku. Begitu kentara, gurat wajah dan pandangan mata itu begitu lelah. Merefleksikan batinnya.

Sudah cukup, Jina... Jangan pernah bermain hati dengan lelaki sebaik dirinya lagi.

Dan jangan pernah mengabaikan anak anakmu lagi. Junmyeon, terima kasih nak. Kau sudah menjadi lelaki dewasa kebanggaan umma sekarang.

1991 Line (91line) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang