#2- Sesuatu Yang Menjadi Teman

67 23 8
                                    

Setelah libur musim panas usai, aku dihadapkan kembali dengan suasana sekolah. Tempat dimana aku tak memiliki seorangpun teman. Tak masalah, tujuanku bersekolah bukan itu mencari teman.

Aku menempuh perjalanan dengan sepeda -diberikan ayah disaat ulangtahunku yang ke-10, ayah memberi dan mengajariku mengayuh sepeda, meski pada akhirnya ia meninggalkanku.- melewati pohon-pohon poplar. Oh aku melihat sebuah batu yang amat cantik. Batu kecil yang seakan berpendar menampakan kecantikannya. Batu itu berbentuk oval, berpendar merah muda, dan sedikit transparan sehingga bagian dalam batu itu terlihat. Tentu setiap orang akan mampu melihatnya, meski dari jarak yang sebegitu jauhnya pun. Aku menaruh batu cantik itu di dalam ranselku, dimana Keita berada. Aku tidak bisa meninggalkannya di rumah. Aku akan sangat terpuruk karena merindukannya. Ia akan ku tinggal di halaman sekolah. Ku fikir itu tak masalah karena jika aku membawanya kedalam kelas, aku akan mendapat masalah. Aku mengayuh sepeda dengan semangat yang berkobar tetapi lamban. Aku tidak ingin meninggalkan kekasih-kekasihku terlalu cepat.

"Terimakasih karena kamu mau merawat kucing jelek seperti aku."

"Suara apatuh? Sepertinya tadi ada yang bicara sama aku deh." Aku memelankan kayuhan sepedaku untuk memfokuskan kalau-kalau suara itu datang lagi.

"aku Keita-mu. Akhirnya kamu bisa dengar aku..." Tidak. Aku belum mampu mencernanya. Aku tersungkur ke dalam sebuah semak belukar yang berada di sepanjang jalan disebelah kiri. Ketika ku bangkit kucing kecil yang sudah menjadi sahabatku itu sedang menatapku lekat dengan matanya yang berbinar. Sejenak ku fikir bahwa ia sangat imut, tanpa menyadari Keitalah yang tadi berbicara padaku dan membuatku tersungkur.

"Maaf karena membuatmu tersungkur. Pasti sangat sakit ya? Sikumu sepertinya lecet."

"Tuhan, tolong sadarkan aku dari mimpi atau imajinasiku. Aku memang mengandai-andai kami bisa saling berkomunikasi tapi aku nggak pernah sungguh berfikir kalau engkau akan mengambulkannya."

"Hey, aku ini nyata tahu. Aku sedang bicara sama kamu, kenapa kamu mengabaikan aku dan bermohon-mohon sama Tuhanmu? Aku kira kamu nggak akan seterkejut itu. Kamu lucu banget ekspresinya"

"Maaf? Jadi kamu sungguh nyata? Keita? Keita yang aku temuin di dekat sungai Aracelli, kan? Oh Keita bagaimana ini bisa terjadi? Aku nggak terima jika imajinasi membawaku sejauh ini."

"Pelankan suaramu, nona. Iya aku Keita-mu. Sedari awal aku sudah bilang kalau aku ini Keita. Tapi kenapa baru sekarang aku bisa berkomunikasi sama kamu ya? Maksudnya – dari awal tuh aku sudah menggumamkan banyak kalimat ke kamu. Aku kira kamu nggak akan dengar atau mengerti bahasaku.Ya walaupun begitu aku tetap berusaha bicara sama kamu hingga kamu benar-benar mendengarnya."

"Keita, aku mohon ya sama kamu, tiba-tiba ribuan pertanyaan menyeruak masuk ke dalam otak aku. Kamu perlu menjelaskan dengan sangat detail mengenai hal ini. Aku nggak sanggup banyak bicara lagi. Aku masih belum bisa mencerna kejadian ini." Aku mendengus, melihat bajuku sudah terkoyak karena terjatuh dan mengenai semak belukar.

"Apa yang harus aku jelasin? Sebenarnya bukan aku yang bikin kita bisa saling berkomunikasi, aku juga nggak tahu siapa yang memulaikannya. Yang aku tahu hanya; sejak bertemu kamu aku mengerti setiap kalimat yang kamu gumamkan ke aku, dan itu berarti sekarang ini kamu yang mulai mengerti apa yang aku ucapkan."

"Terus gimana caranya aku bisa mengerti apa yang kamu gumamin tiba-tiba begini? Ini tiba-tiba banget, terlalu tiba-tiba. Ini nggak masuk akal."aku menggeleng-geleng kepala dengan hebatnya.

"mana aku tahu. Lagipula, bukankah seharusnya kamu bersyukur karena sahabat kamu ini bisa berkomunikasi dengan kamu? Itukan angan-angan kamu sedari dulu. Omong-omong jangan geleng-geleng terus nanti pusing lho."

"Aku sayang Keita!!" Aku mendekapnya di dadaku, tak peduli sikuku yang lecet ataupun bajuku yang telah terkoyak, aku memeluknya membenamkannya dalam pelukanku.

"Auuhh... sakit tahu. Aku juga menyayangi Amy!" aku melepaskan pelukanku.

"Hmm. Keita kira-kira aku lanjut kesekolah atau nggak ya? Pasti sekarang sudah telat deh, sikuku nyeri banget, bajuku compang-camping, dan kotor pula karena kena tanah. Aku bakalan malu banget dilihat teman-teman nanti."

"Menurutku kamu harus membolos buat hari ini deh."

Pada awal yang sangat tiba-tiba itu aku sama sekali tak mempercayai apa yang telah aku lihat dan dengar. Segala pertanyaan yang tiba-tiba menyeruak masuk ke dalam otakku. Mungkin aku sudah gila karena menganggap Keita bisa berbicara, mungkin aku memang sudah tak waras, mungkin imajinasiku yang kian kuat sudah memanipulasi fikiranku yang realistis, atau mungkin aku sedang berada di dalam mimpi tidurku. Memang semua manusia akan merasa terheran-heran sehebat itu jika menyadari dirinya bisa berbicara dengan seekor binatang, apalagi seekor binatang yang amat kau cintai. Mau tak mau, aku harus mempercayakan Keita tanpa tahu asal muasal mengapa kejadian ini bisa terjadi. Keita yang ku cintai, Keita yang ku sayang bisa berbicara padaku! Oh tuhan aku ingin menangis. Aku harap ini memang nyata dan ia memang ditakdirkan untuk terus bersamaku. Aku tak peduli lagi segala macam hal yang menyebabkanku bisa berkomunikasi dengan Keita. Aku hanya-sangat-senang-sangat-sangat-tidak bisa dituliskan dengan kata-kata.

Aku membawa Keita pulang bersamaku, seperti tadi, Keita berada di dalam ranselku. Sekarang ia tidak menggumamkan apapun, kurasa ia terlelap.

Bibi Ruth bertanya mengapa aku terlihat sedemikian rupa, aku menjelaskan padanya semua kejadian yang terjadi diantara aku dan Keita.

"Omong kosong! Kau sudah gila, Amy." Bibi menghardikku dengan betapa tidak realistisnya aku, betapa imajinasi sudah menguasaiku terlalu jauh, betapa hidupku dipenuhi dengan khayalan.

"Bibi, awalnya aku fikir juga begitu sampai-sampai aku tersungkur saat mengayuh sepeda tadi." Aku mulai kehabisan akal menjelaskan kejadian yang sesungguhnya kepada Bibi Ruth, aku mulai menyerah dan membiarkannya.

"Sepertinya ia nggak akan mengerti, Amy. Biar kita berdua saja yang mampu berkomunikasi, biarlah ini menjadi dunia kita berdua." Keita terlihat lemas, aku bisa melihatnya walaupun bibi Ruth tidak –yang ia lihat hanyalah kucing kecil berwarna kelabu yang selalu mendengkur manja kepada Amy.

"Sudahlah, mungkin kau hanya sedang sakit. Sekarang benahi dirimu, lihatlah... kotor sekali. Setelah itu ambil persediaan obat disebelah kamar kosong, lukamu harus diobati."

"Baiklah bibi."

Ia berjalan terkulai lemas menaiki anak tangga, ia tidak mengerti bagaimana harus menjelaskannya pada bibi, sekeras apapun ia berusaha bibi takkan pernah mempercayainya kecuali bibi Ruth melihat dan mendengarnya dengan mata kepalanya sendiri. Betapa keras kepalanya ia menjadi.

"Keita, kamu tahu nggak? Tadi aku mau ketawa waktu kamu ngomong. Kamu terdengar dewasa banget. Tapi, ya, aku tahan, kalau aku ketawa yang ada bibi malah makin menganggapku gila."

"Keita, kalau besok pagi aku berbangun, dan mendapati kamu nggak bisa berkomunikasi denganku aku akan berfikir bahwa aku memang gila, butuh penanganan khusus atau bahkan tinggal di rumah sakit jiwa. -Aku membuatnya cetak miring untuk memberi tahu hal-hal besar dalam hidupku, termasuk rumah sakit jiwa itu sendiri, adalah hal besar yang amat buruk- Aku sama sekali tidak gila tapi mungkin aku keliru dan bibi benar." "Aku akan membuktikan bahwa kamu nggak gila, semua ini nyata, hanya saja cuma kita berdua yang tahu."

"Aku nggak peduli apapun yang orang lain katakan, aku mencintai Keita-ku. Dan selamat malam, Keita kekasihku." Aku terlelap karena kelelahan berfikir dengan amat kerasnya. Tak lama, Keita pun terlelap di karpet merah kamar Amy – bibi Ruth tidak melarang Keita berada atau tidur di kamar Amy. Ia tahu Keita akan menjadi sahabatnya, temannya berkeluh kesah.

UnappealledTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang