#3- Meninggalkan Sesuatu

50 21 3
                                    

Matahari sudah menampakan cahayanya. Semalam aku tidur dengan sangat nyenyak, sudah lama aku tidak tidur seperti itu. Aku merasa amat segar pagi ini, dan yah aku harus kembali bersekolah. Aku akan membawa Keita bersamaku. Tapi tunggu – 

"Keitaaaa, kamu dimana?" aku mencari-cari Keita menjelajahi seisi kamarku.

"Aku tahu, semua itu hanya khayalanku dan aku hampir saja gila."

"Hi nona manis."

"Keita!! Syukurlah ..."

"Mari berangkat."

Syukurlah Keita-ku benar nyata. Aku membawanya turut serta pergi ke sekolah. Kami kembali melewati jalan yang dikelilingi oleh pohon-pohon poplar. Aku teringat, sebelum Keita bisa berkomunikasi denganku; aku mengambil sebuah batu oval cantik yang berpendar merah muda. Lalu apakah itu sebenarnya? Lantas aku bertanya kepada Kenta. Menurutnya itu bukan sesuatu yang membuat Keita bisa berkomunikasi dengan Amy, itu adalah hal yang alami, terjadi karena ikatan yang tak terpatahkan. Teman-temanku merasa terheran-heran mengapa aku mau repot-repot membawa seekor kucing ke sekolah. Aku ingin terbuka dengan teman-temanku, tidak, mereka hanya kebetulan menjadi teman satu sekolah. Aku menceritakan kejadian dimana aku dan Keita mulai bisa berinteraksi.

"Kau tolol baget!"cerca mereka kepadaku. Aku tidak mau menceritakan segalanya lagi, mereka semua takkan mengerti, begitupun dengan bibiku sendiri.

Hari-hariku dan Keita berjalan begitu indahnya, mereka berjalan-jalan menyusuri rembunan pohon-pohon ceri tua dan ikatan mereka makin nyata ketika Keita bisa berbicara denganku, begitupun sebaliknya. Amy tak lagi merasa sendiri –karena sebelumnya, ketika Keita berada bersamanya pun ia masih sedikit merasa kesepian, karena Keita hanya bisa mendengkur untuk merespon. Setiap hari aku terlihat semakin bahagia. Ia tidak peduli lagi dengan ketidakpercayaan bibi terhadapnya. Sampai suatu saat ...

Bibi Ruth memanggilku, suaranya menyeramkan. Aku menerka ia akan melakukan sesuatu hal yang buruk padaku.

"Aku akan mengurus keberangkatanmu untuk tinggal di rumah Mr dan Mrs Thomas. Sebaiknya kau bersiap-siap."

Aku berang, tak percaya akan apa yang aku dengar melebihi kejadian yang terjadi diantara Keita dan aku. "Apa maksud bibi? Aku nggak akan pergi kemanapun! Aku akan berada di desa ini. Dan bibi, apa gerangan penyebab bibi memutuskan hal kayak gini?"

"Aku fikir akan lebih baik jika kau tinggal di kota, Amy."

"Nggak! Aku menolak dengan keras. Aku nggak bisa meninggalkan Louisa, danau Aracelli serta hutan Sherwood yang dipenuhi pohon-pohon poplar. Lagipula, disinilah tempat tinggalku seharusnya. Aku cocok disini bibi."

Bibi terlihat sedikit mengasihaniku, dan sorot matanya seakan berkata; ini semua demi kebaikanmu.

"aku harus melakukannya, sayangku. Kau akan semakin gila jika terus berada di desa ini. Di kota kau akan mendapat teman yang lebih baik. Aku sudah mengetahui segalanya, kau tak punya seorang teman di desa ini alih-alih hanya kucing yang kau sangka bisa berbicara dan Louisa sang gadis imajinasimu lah yang menjadi temanmu. Apa aku salah?" aku benci kalimat sayang yang tertuju padaku itu. Begitu menjijikan. Tak ada hal yang sedikitpun menyenangkan didalam kalimatnya.

"Keita sungguh bisa berbicara!" Aku meneriaki seisi rumah yang hanya ditinggali oleh aku dan bibi.

"Pokoknya kau harus pergi ke kota dan meninggalkan kucingmu disini."

"nggak, nggak dengan Keita. Okay bibi, aku nurut bibi bawa ke kota, tetapi aku mohon jangan biarkan aku dan Keita berpisah."

"aku nggak bisa membiarkan kamu menjadi gila. Bibi akan ikut denganmu ke kota. Jadi rumah ini akan kosong. Mrs. Thomas memiliki seorang gadis yang seumuran denganmu. Ia akan menyembuhkan rasa rindumu dengan Keita."

Semua itu seakan membunuhku dari setiap sisi, merobohkan setiap keping semangat yang ada pada diriku, menghancurkan tembok kesenangan dan imajinasiku. Aku tak bisa meninggalkan Louisa dalam hidupku, begitu juga Keita yang telah menjadi teman, sahabat, kekasih, serta keluargaku. Aku takkan mengindahkan segala hal lagi, aku akan bersikap sebegitu dingin. Aku amat merasa ditinggalkan. Lagi-lagi aku akan ditinggalkan oleh sesuatu yang amat ku cintai.

"Ibu, aku merindukan ibu. Bibi Ruth nggak pernah benar-benar mencintai, menyayangi, maupun mempercayai aku. Jika ibu masih hidup, apa ibu mau mempercayai segala yang aku katakan aku meski hal itu terlihat amat konyol? Ibu, disini aku butuh ibu. Aku nggak kuat ninggalin Keita. Aku nggak mau ibu. Aku nggak tahu harus menolak atau menerimanya." Air mataku jatuh berlinang. Keita, sahabat bernyawaku satu-satunya, aku harus meninggalkannya.

"Tuhan... jika memang yang terbaik untukku adalah meninggalkan Keita disini, aku menerimanya, tetapi tolong jaga Keita, jangan membiarkannya terpuruk seperti saat pertama aku bertemu dengannya. Ia adalah teman terbaik yang ku punya. Ia telah mengubah hidupku menjadi sangat berwarna. Kau pasti mengerti jika melihat dari sudut pandangku."

Hari ini, langit-langit yang biasanya tampak tersenyum, pohon-pohon yang selalu menari-nari, serta nyanyian burung-burung telah pudar. Tampak berwarna kelabu, seperti warna bulu Keita. Lucu sekali. Aku tak ingin mengucapkan kalimat perpisahan pada Keita, jelas ini lebih sulit dibanding musim lalu ketika aku ingin membiarkan Keita tinggal di hutan. Aku tak tahu Keita sekarang ada dimana, itu bagus.

Selamat tinggal, Keita.

UnappealledTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang