The Vision

397 31 6
                                    


Jeongguk membawa mereka semakin masuk ke dalam gua. Tempatnya lembab dan gelap. Air menetes-netes dari langit-langit gua sehingga temperatur di sana cukup rendah. Satu-satunya penerangan adalah lampu teplok yang dipegang Jeongguk.

Nanmjoon berjalan dengan tertatih-tatih samapai Seokjin harus melingkarkan lengannya di bahu Namjoon agar tidak jatuh. Air yang diberi Jeongguk memang ampuh adanya. Beberapa menit setelah berjalan, rasa sakit di kedua kakinya mulai berkurang dan Namjoon pun sudah bisa berjalan dengan normal.

"Hei, Jeongguk," panggil Seokjin.

"Apa?" balas Jeongguk tanpa menoleh. Ia menendang beberapa tengkorak entah-siapa ke samping agar mereka bisa melewati gua dengan mudah.

"Tadi kami melihat poster pencarian orang. Chaplin Guk Jeon. Siapa itu? Penampilannya cukup nyentrik."

Jeongguk berdeham. "Itu aku."

"Mengapa mereka mengincar kepalamu?" kali ini Namjoon yang bertanya.

"Mereka tidak suka adanya orang asing yang menyelundup." Kata-katanya masuk akal, tetapi Jeongguk terdengar ragu. Seokjin dan Namjoon tak berkomentar apa-apa.

Mereka pun berjalan semakin jauh. Ketika ditanyai berkali-kali oleh Seokjin ke mana mereka dibawa, Jeongguk bungkam. Namjoon sempat mengancam kalau ia dan Seokjin akan kembali ke tempat tadi, namun Jeongguk malah mengancam balik. Katanya, "Putar balik, lalu nyawa dicabut oleh makhluk-makhluk haus darah, atau kalian ikut aku dan tetap bertahan hidup? Kalian bukanlah tanggung jawabku lagi jika kita berpisah."

Seokjin merinding sekaligus kesal mendengarnya. Mengapa kata-kata anak itu terdengar janggal dan mulai tidak relevan? Tanggung jawabnya katanya? Kalau memang ia dan Namjoon adalah tanggung jawabnya, kenapa Jeongguk tidak mau membantu di kala tak bersama lagi?

Oh, Seokjin harus berhenti bertanya-tanya. Ini hanya membuatnya merasa bodoh.

Ia melirik Namjoon. Ternyata, kekasihnya itu juga terlihat bingung sekaligus was-was. Beberapa kali ia bergidik setiap kali melihat tengkorak manusia yang tergeletak di lantai gua. Karena mereka tidak berani menggeser tengkorak dengan kaki apalagi melangkahinya, mereka mengambil lintasan setengah lingkaran. Konon, kata orangtua kalau kuburan tidak boleh dilangkahi. Jadi, hal itu berlaku pula pada mayat maupun komponen-komponennya.

Seokjin tiba-tiba merasa pusing yang hebat. Ia langsung terjerembab ke lantai gua yang dingin, basah, dan kasar.

"Hyung!" Namjoon berlutut di depannya dan terlihat panik. "Kau tidak apa-apa?"

Seokjin tidak mampu bergerak. Pandangannya berputar-putar walaupun ia sudah beberapa kali mengerjap-kerjapkan mata. Bukan kian jelas, pandangannya malah kian kabur. Namun, ia masih bisa melihat bahwa Jeongguk menghampirinya juga.

Seokjin semakin merasa pusing ketika suara Namjoon yang memanggil-manggilnya mulai teredam oleh entah-apa. Suara kekasihnya itu mulai bergema. Sejenak Seokjin berpikir apakah ia akan jadi buta dan tuli di tempat antah berantah seperti ini.

Kendati demikian, Seokjin yakin bahwa ia tidak kehilangan kesadaran. Pandangan yang kabur itu beralih ke pemandangan kota London kuno yang penuh warna. Suara-suara yang terdengar seperti orang berbicara di dalam air tadi berubah menjadi suara penduduk bercakap-cakap dalam bahasa Inggris.

"We are under attack now!" kata seorang pria di balik dagangan yang ia jual, ikan. Dagangannya pasti belum terlalu laku.

"Under attack, you said? We're in glory!" protes pedagang wanita di sebelahnya, penjual daging rusa. Stoknya tinggal satu lagi, tergantung di atas meja dan terayun-ayun oleh angin.

Grey Town [NamJin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang