Namjoon sebenarnya bukanlah orang yang lemah. Sejak kecil, ia sudah belajar judo. Tetapi tubuh Nyonya Wright yang seharusnya melempem itu jadi terlihat mengerikan di mata Namjoon karena aksesoris berdarah-darah yang menempel di tubuhnya. Perasaan takut itu menciutkan nyali Namjoon untuk menggunakan jurus judonya. Alasan yang lain adalah ia sudah jarang berlatih judo sejak kuliah, sehingga sekarang tubuhnya agak kaku.
"Hmmmmmm..," gumam Nyonya Wright di atasnya. Satu matanya berputar-putar seperti Mad-eye di serial Harry Potter. "How do these taste? These small eyesss, nossse, sssexy lipsss, earsss."
Namjoon bergidik ngeri. Kalimat-kalimat Nyonya Wright terdengar begitu ambigu. Nyonya Wright juga mulai membelai wajah Namjoon. Pria itu semakin merinding. Tanpa mengacuhkan rasa takutnya lagi, dengan sekuat tenaga ia memutar tubuhnya ke kiri hingga wanita zombi tua itu terjatuh. Segera Namjoon berdiri dan menjauh darinya. Ia melihat tubuhnya dengan miris karena sudah ada bercak-bercak darah yang sangat kental, lengket, dan berwarna merah kehitaman. Mau ia lap dengan tisu pun, rasanya jijik.
Kemudian, ia melihat ke arah Seokjin—yang sudah dipojokkan oleh zombi anak perempuan. Namjoon berlari ke sana dan langsung menendang makhluk itu hingga terhempas ke jendela rumah. Ia meraung-raung tak jelas. Namjoon tak peduli itu artinya kesakitan atau makian dalam bahasa Chucklain, yang penting Seokjin berada di genggamannya sekarang.
Jeongguk, keadaannya semakin parah. Ia sudah terlihat begitu lelah, terkuras tenaganya hanya untuk merapal mantra-entah-bahasa-apa. Rambut dan wajahnya sudah basah oleh keringat.
Tidak. Tunggu!
Namjoon mengerjap-nerjapkan matanya untuk memastikan penglihatannya. Jeongguk mengeluarkan peluh berwarna keruh alih-alih bening layaknya keringat biasa. "Apa itu?" tanyanya ke Seokjin tanpa melepas pandangannya dari Jeongguk.
"Apanya yang apa?" Seokjin bingung. Kekasihnya itu belum ngeh.
"Keringat Jeongguk." Mereka berdua bertatapan setelah Namjoon berkata demikian. Hal yang dipikirkan mereka mungkin sama: Jeongguk menyimpan rahasia lain.
Nyonya Wright dan anaknya mendekati mereka berdua lagi dengan tatapan penuh rasa lapar dan haus. Tanpa berpikir panjang, Namjoon menarik Seokjin dan berlari ke arah Jeongguk untuk ditariknya juga dan melewati Tuan Wright dan anak laki-lakinya. Dalam beberapa detik, mereka bertiga berhasil keluar dari rumah itu dan mengunci pintu dari luar—syukurlah Jeongguk memegang kunci cadangan.
Jangan pikir keempat zombi itu menyerah. Tidak. Mereka menggedor-gedor pintu depan keras sekali. Biar diperjelas, keras sekali sampai-sampai Namjoon mengalami lenting sebagian terhadap pintu. Engselnya pun hampir lepas dalam dua hentakan. Namjoon tak yakin apakah itu karena pintunya sudah lapuk atau tenaga zombi yang kelewat besar. Pokoknya, yang ia inginkan sekarang adalah pergi jauh-jauh dari rumah itu.
"Wow," seru Jeongguk. "Larimu cepat juga ya."
"Kau yang terlalu lamban," balas Namjoon, agak tersipu karena dipuji. Rumah itu cukup luas sehingga jarak pintu masuk dan tempat mereka terkepung tadi cukup jauh. Namun, dalam waktu singkat Namjoon berhasil melarikan diri dari makhluk-makhluk menjijikkan itu.
"Apa kau baik-baik saja?" Tanya Seokjin ke Jeongguk. Anak itu mengangguk sekali karena aaking capeknya. Kedua matanya ia pejamkan sejenak sambil menarik napas dalam-dalam dan ritme napasnya kembali normal.
"Jadi," ujar Namjoon, "kita harus ke mana sekarang?"
Wajahnya tiba-tiba menunjukkan kengerian sekaligus jijik. Karena tadi mereka bertiga sibuk mengatur napas, keadaan di luar rumah terabaikan sejenak. Kini Namjoon dan Seokjin tak habis pikir melihat pemandangan yang ada di sekitar mereka. Seokjin sampai harus mengelus dadanya untuk menenangkan diri.

KAMU SEDANG MEMBACA
Grey Town [NamJin]
FantasiKencan Namjoon dan Seokjin harus batal ketika mobil yang mereka tumpangi ditabrak traktor tanpa pengemudi. Keduanya terdampar ke dimensi lain dan mendapati mayat bergelimpangan hampir di seluruh bagian kota yang seluruhnya berwarna abu-abu. Hingga m...