Chaplin Guk Jeon

464 38 2
                                    

Namjoon tahu ia pasti sudah mati. Ia takut membuka mata. Ia belum siap untuk melanjutkan kehidupanya di dunia baru.

Surga atau neraka?

"Namjoon-ie," panggil seseorang. Lho, kenapa suaranya mirip Seokjin Hyung? Ia masih belum berani melihat apa yang menunggunya di luar sana."Namjoon-ie, bangun! Kita belum mati." Suara itu memanggil lagi. Kini, ia yakin kalau itu suara Seokjin.

Namjoon pun mengangkat kelopak matanya perlahan dan menemukan kekasihnya yang sedang menatapnya. Seokjin pun langsung memeluk Namjoon, ketakutan. Selagi membalas pelukan Seokjin, Namjoon tertegun melihat pemandangan di luar mobilnya. Mereka sedang berada di sebuah jalan besar. Di kedua sisinya berderet bangunan kuno, mengingatkannya pada kota Diagon Alley yang ada di serial Harry Potter. Namun, bedanya adalah jalanannya tidak sempit dan keadaan di luar sana tidak berwana selain abu-abu dan langit yang berwarna kuning pucat. Untung saja ia dan Seokjin tidak berubah warna menjadi abu-abu juga.

"Kita di mana, Hyung?" tanyanya.

Seokjin menarik diri dan membalas dengan gelengan kepala, lalu mengajaknya keluar mobil. Namjoon segera menggenggam tangan Seokjin ketika mereka sudah berada di luar mobil.

Jalanan itu sangat sepi nan seram. Hanya ada suara angin berhembus—wush dan syuu—serta gemerisik daun-daun kering yang menggesek tanah. Samar-samar ada bau aneh yang menyusup ke indera penciuman mereka, yang tiba-tiba membuat bulu kuduk meremang.

"Ayo, kita jalan," tukas Namjoon setelah tak tahan dengan hawa dingin yang menyelimutinya.

"Ini seperti kota mati, Namjoon. Tidak ada orang, kan?"

"Hei, kita harus optimis. Kau saja bisa membuat pasien optimis untuk sembuh. Iya, kan?"

Seokjin tersenyum lembut ke arah pria berambut merah itu. Namjoon memang tahu bagaimana cara menenangkan Seokjin dan membuatnya merasa aman di manapun. Setelah merapatkan genggaman tangan keduanya, dua pasang kaki itu melangkah ke belokan pertama yang mereka temukan di sebelah toko kelontong.

Semakin jauh mereka berjalan, bau itu kian menyengat sampai seperti aroma bangkai. Seokjin menutup hidung dengan tangan, sementara Namjoon dengan kerah kemejanya. Semakin jauh lagi, baunya semakin tidak terdeskripsikan, menusuk hingga ke tenggorokan. Seokjin sudah hampir memuntahkan sarapan yang tadi dimakannya.

Perasaan ingin muntah itu bertambah ketika mereka menemukan banyak manusia bergelimpangan di jalan dan di bingkai jendela bangunan sekeliling. Mayat-mayat itu juga berwarna kelabu dan kulitnya kering seakan-akan jika kau menyentuhnya, mereka akan hancur menjadi debu. Ada bekas luka di sekujur tubuh-tubuh busuk itu. Banyak di antaranya yang organ dalamnya terburai ke luar: mata, otak, usus, lidah.

Seokjin yakin kalau orang-orang itu sudah mati lama sekali. Tetapi, kenapa masih saja mengeluarkan bau busuk?

"Hyung, bukankah seharusnya ada lalat-lalat yang mengerubungi tempat ini?" tanya Namjoon sebelum terbatuk-batuk. Ia menyadari bahwa kedua matanya sudah berair saking mualnya.

"Aku juga berpikir seperti itu. Aku tidak mengerti mengapa," Seokjin berkata dengan suara tercekat. Ia pun merasa bodoh karena tidak bisa menjelaskan fenomena ini. Ia kan dokter dan seharusnya ia tahu. Ah sudahlah, pikirnya. Ahli forensik mungkin lebih tahu.

"Apa menurutmu sudah terjadi pembantaian besar-besaran di sini?" tanya Namjoon lagi.

Seokjin menggeleng. "Tidak tahu. Lihat warna tubuh mereka—sudah lama mati."

"Semuanya berwarna sama, Hyung, kecuali kita." Namjoon memprotes.

"Eh, maksudku dari gelapnya warna mereka. Sekeliling kita kan seperti efek hitam-putih."

Grey Town [NamJin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang