PASTA
|•|
Tidak benar membiarkan niat baik seseorang, apalagi mengabaikannya. Kinan bukan orang seperti itu, dan tidak mengajarkan hal tersebut pada putranya. Berdampak besar nantinya jika semakin lama dibiarkan. Termasuk saat ini, Kinan akan membujuk anak lelakinya itu menghargai orang lain. Menerima bukan berarti suka dikasihani. Kinan tidak membenci menerima, hanya saja terkadang orang salah mengartikan apa yang mereka beri, merupakan sebagai ketulusan kah atau justru sekedar rasa kasihan.
Ditatapnya Kanu, dengan aksen wajah tegas seorang ibu yang Kinan miliki. Jujur saja, Kinan memang sangat luar biasa untuk masalah mendidik. Ada waktu-waktu tersendiri untuk menempatkan. Kinan tidak akan sembarangan memarahi, membentak, atau memukul Kanu. Ada pertimbangan, situasi, dan dampak bagi si kecil.
"Ada pembelaan, Arkanu?"
Biasanya, disaat menengahi atau membuat keputusan atas kesalahan apa yang anaknya buat, baik terhadap diri sendiri, orang tua—Kinan, Gina, Kana—dan teman, terlebih... orang lain. Sebagai seorang ibu, Kinan bertindak. Dan tidak ada panggilan 'Mas' jika Kanu memang bersalah.
"Jangan hanya menunduk! Coba lihat lawan bicara kamu dengan lebih sopan. Hargai, dan lakukan apa yang kamu anggap benar. Keluarkan pendapat kamu, dan pikirin pendapat orang lain." Perkataan Kinan memaksa anak itu berpikir keras. Hampir selalu seperti itu menentukan sikap. "Apa Mama ngajarin kamu untuk bersikap nggak sopan sama orang yang lebih tua?" Kali ini Kinan tidak akan membawa status Bam sebagai ayah Kanu, yang wanita itu lakukan adalah dengan mengenalkan Kanu akan penghargaan pada Bam. Dengan begitu, Kinan harap Kanu bisa luluh dan menerima Bam sebagai ayahnya.
"Kanu salah. Kanu nggak boleh bentak ke Om Bam, dan nggak boleh Kanu marah-marah. Mama bilang itu nggak baik, Kanu salah. Kanu nggak sopan sama Om Bam...," aku Kanu pada Kinan. Sekeras apa pun Bam atau Kinan membuat Arkanu mencoba memanggil Bam dengan sebutan ayah, itu akan percuma dalam jangka waktu dekat.
"Apa yang harusnya kamu lakuin setelah itu?"
Tatapan sendu Kanu memang tidak luput dari perhatian Kinan, Bam menahan tangisnya. Bahkan anak itu mengucapkan kalimat panjang dengan suara serak. Tapi karena terlalu mengerti karakter ibunya, Kanu bersikap bijak dan dewasa saat penghakiman bersama ibunya dimulai.
"Kanu harus minta maaf, Mam."
"Lakuin!" titah Kinan masih mempertahankan sedekapan tangannya di depan dada.
Setelah makan malam, Kinan memang sengaja memisahkan diri dari anggota keluarga Gina dan Kana yang lain. Kinan membutuhkan waktu berdua dengan anaknya, agar tidak ada lagi sikap angkuh dari Kanu yang muncul dihadapan ayahnya sendiri.
"Om Bam-nya udah pergi, Mam...," lirih Kanu yang menyadari jika perintah ibunya tidak bisa dilaksanakan saat itu juga.
Lagi, Kinan menatap wajah anaknya yang memelas. Kinan tidak bisa melihat Kanu seperti itu, tapi Kinan harus membiasakan mental ksatria bagi anaknya.
"Peluk Mama?" tanya Kinan meregangkan tangannya, bersiap menyambut tubuh Kanu dalam rengkuhannya.
"Mamaaaaa...." Kanu menghambur dalam pelukan hangat. Tangisan Kanu menguar, menandakan dirinya menyesal.
Memang didikan Kinan membuat Kanu dewasa sebelum waktunya, tapi tetap saja, intuisi Kanu sebagai anak kecil tetaplah kuat.
"Mama juga minta maaf, ya, sayang. Mama cuma mau, Mas nggak kayak tadi. Jangan bersikap kayak gitu meski pun, Mas nggak suka sama orangnya. Ngerti?" Anggukan Kanu kuat, baju Kinan yang basah tak dihiraukan. Lebih baik begitu, keduanya menumpahkan dalam satu waktu ketimbang merajuk satu sama lain. Kinan tidak akan kuat jika nantinya Kanu mendiamkannya dan mungkin juga sebaliknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
PASTA (BACA LENGKAP DI DREAME)
ChickLitTersisa 5 Bab. Bab lengkap bisa dibaca di Dreame via web atau aplikasi. Uname : Faitna Andini Versi lebih rapi dan tambahan epilog. Berharap kehidupan akan bersikap dewasa? Kinan membuang jauh-jauh itu. Baginya, kedewasaan dalam diri saja yang akan...