PASTA
|•|
Apa alasan kembali? Bam tidak tahu jawaban pastinya. Karena seperti yang orang lain ketahui, Bam memang sudah memiliki keluarga lain. Keluarga kecil yang sangat jauh dari kata bahagia. Ya, Bam mengejar dan terus mengawasi kebahagiaan sejatinya... Kinan dan Kanu. Hanya dua insan itu yang memenuhi target kebahagiaannya.
Lima tahun, sungguh bukan waktu yang singkat untuk menahan segalanya. Bam memang terlalu pengecut, dan bodoh! Tentu. Bam menyadari itu. Tapi hal yang menjadikan alasan mengapa Bam harusnya pergi, justru tak pernah ia hiraukan. Alasan kuat, yang Kana terakan dalam ucapan memperingatkan. Jika Gina saja sudah sebegitu stres memikirkan kehadiran Bam dalam hidup sahabatnya—Kinan—lalu bagaimana dengan perasaan serta pikiran Kinan sendiri?
Tapi terus saja, Bam tidak mampu menjauhkan diri dari wanita itu. Hatinya sungguh kuat mendekat, tapi lemah mengikat. Sebab itu lah, keegoisan Bam muncul. Bam ingin putranya menerima dirinya, bukan menjadi orang asing atau Kanu cap sebagai teman Kinan. Bam ingin menjadi ayah, sosok nyata, kebanggaan anak lelakinya, panutan, dan penggambaran lain dimana keluarga lain memiliki sebutan itu.
Keberanian membawa Bam untuk ketiga kalinya menekan bel rumah Kinan. Dan setelah bunyi ketiga usai, tangan Bam kembali tersisip dalam saku celana, wanita itu ke luar, menampakan wajah cantik penuh kedewasaan dimata Bam.
"Oh, kamu...." Kinan memang masih canggung, dan sapaannya memang sangat aneh pada Bam. "Mau... ketemu-"
"Aku cuma mau main aja. Karena ini hari libur, siapa tau Kanu mau diajak berkebun."
Kinan hampir saja terbuai, karena entah bagaimana ucapan itu muncul dan tersuarakan oleh Bam. Yang jelas, kebiasaan Kinan ketika mengandung Arkanu memang membuat Kinan suka sekali berkebun, dan kebiasaan itu hadir semakin jelas pasca kelahiran Kanu, anak lelaki itu menyukai aktivitas berkebun.
"O... oke, masuk dulu kalo gitu!" ajak Kinan mempersilakan Bam masuk. Dan Bam memang mencari-cari ke mana putra semata wayangnya itu berada, tetapi sepi yang ia dapatkan.
"Eum, maaf, Bam. Kanu malah udah berkebun duluan di belakang, dia kebiasaan nggak mau diganggu kalo lagi serius sama tanamannya." Kinan... begitu lah wanita itu. Bam berhasil menghancurkan hatinya, tetapi tidak berhasil memupuk dendam pada diri Kinan. "Apa kamu mau langsung gabung sama dia? Karena aku rasa dia akan lebih lama. Dan, maaf juga, aku nggak bisa nemenin kamu di sini. Aku harus bikin kue," jelas Kinan.
"Nggak apa-apa, kamu lanjut aja. Nanti aku bakalan langsung gabung sama Kanu."
Sebenarnya, tidak ada senyuman yang benar-benar tulus yang Kinan layangkan. Karena sejatinya, Kinan memang terlalu lama berjauhan dengan Bambang.
"Yaudah kalo gitu, aku bilang dulu aja ke Kanu kalo ada tamu yang mau nemenin dia berkebun."
Kinan juga paham, bahwa berkebunnya Kanu akan tetap menghasilkan sesuatu yang... berantakan. Umur lima tahun, bagaimana mungkin Kanu berkebun rapi tanpa adanya turut andil orang dewasa? Tapi setidaknya, Kinan memberi kebebasan pada anaknya agar tidak takut berbaur dengan alam dan mencintainya.
Kinan memang sungguh meninggalkan Bam, dalam kesendiriannya, Bam mulai tertarik menilik sekeliling ruang tamu itu. Karena sangat banyak foto berbingkai cantik nan rapi disetiap sudut ruangan.
Degup jantung Bam berdetak cepat. Matanya seolah terpacu untuk mengeluarkan air mata, karena yang ia dapati adalah momen dimana Kinan dan Kanu memiliki waktu yang membentuk kenangan bersama. Ada padanan bingkai di dinding berundak layaknya anak tangga, memperlihatkan pertumbuhan serta perkembangan Kanu.
Dalam sekali lihat, Arkanu bayi memang mewarisi bentuk wajah seperti Bam. Dan kemiripan itu terkikis perlahan dilebur dengan manisnya lesung pipi milik Kinan, bulu mata panjang tanpa kelentikan, yang membuat kesan lucu. Karena ketika menutup mata, maka bulu mata panjang itu mengalihkan perhatian siapa saja yang melihat. Garis tepi bibir Kanu yang menukik lebih ke bawah, persis Kinan. Jika saja Kinan tidak banyak tersenyum, maka orang lain akan mengira jika Kinan adalah tipikal orang suka memarahi orang lain.
Sayangnya, Bam tidak akan bisa menikmati pemandangan itu lebih lama. Bam hanya orang lain bagi Kanu, Bam tidak akan dilirik Kanu sebagai ayahnya.
"Bam, kamu bisa gabung. Dia welcome kalo kamu siap kotor-kotoran sama dia." Dan Kinan menorehkan luka lagi dalam memori otak Bam, merekam senyuman kebimbangan yang jelas sekali Bam mampu lihat.
"Ya, thanks." Bam membalas senyuman itu.
Langkah kakinya mengikis jarak, Bam mendekati replikanya—meski tak sama persis sepenuhnya. Dari belakang, keseriusan terlihat. Kanu tidak peduli dengan kedatangan Bam, padahal derap langkah Bam sudah seharusnya mengusik konsentrasi anak itu.
"Wah! Ada kolam ikan juga?" tanya Bam memaksa diri bersikap akrab dengan Kanu.
"Iya. Mam yang kemarin beliin," jawab Kanu menanggapi pertanyaan Bam. Datar.
"Yang di sini, tanaman kamu semua?"
"Mam yang ngisi, aku cuma suka." Bahasa yang dewasa, tetapi logat bicaranya kental akan ciri anak-anak.
"Kanu...."
"Ya?" jawab Kanu dengan menoleh pada Bam, mencoba melihat wajah lawan bicaranya agak lebih sopan.
"Boleh kalo kita nggak sebaku ini? Kamu bisa lebih santai?"
"Oh, bisa kok, Om. Maaf, ya... Kanu udah nggak sopan sama, Om. Kemarin, Kanu cuma nggak suka ada yang bilang gitu ke Kanu. Soalnya Mam nggak pernah bilang. Lain kali, Om jangan suka bercanda sama Kanu kayak gitu, ya? Kanu nggak suka," tutur Kanu, jujur.
Bam tidak mengira jika akan secepat itu anaknya memberi benteng. Bahkan Kanu langsung memanggilnya dengan panggilan 'Om', jelas menyedihkan bagi seorang ayah.
"Mau Om bantu, Kanu?"
"Terserah, Om." Sepertinya, Bam harus lebih bersabar. Karena memang sifat Kanu yang hanya berbicara sedikit murni Bam-lah penyumbangnya.
♥↓♥
"Udah, Mas! Makan dulu...."
Yang dimaksud Kinan dengan makan adalah Kanu yang mencicipi kue buatannya.
"Ya, Mam." Kanu bergerak menuju keran air, dia membasuh tangan, kaki, dan bagian yang kotor untuk memasuki rumah bagian dalam.
"Bam, ayok... ikut makan juga!"
Sepertinya, sikap kaku yang anak dan ayah itu miliki akan cair dengan adanya Kinan. Jika saja Bam tidak melakukan hal gila ketika kalut dengan pikirannya saat itu, mungkin mereka sudah menjadi keluarga kecil yang bahagia.
Bam yang menurut, juga dengan Kanu, membuat Kinan merasa ada kehangatan di rumahnya. Tapi Kinan akan tetap membatasi, karena bukan hal sederhana jika membiarkan diri melarut dalam kehangatan yang dalam dan curam, sebab bisa saja Kinan terjerembab dalam jurangnya.
"Mam, makan siang hari ini pasta, ya? Mas, mau makan ituuuu." Bermodalkan wajah lucu dan menggemaskan Kanu, tentu Kinan tidak bisa menolak.
"Nggak bosen, Mas? Kan setiap akhir pekan udah sering makan itu," timpal Kinan.
"Nggak! Mas suka, Mas suka pasta buatan, Mam!" ucap Kanu penuh antusias.
Melihat percakapan keduanya, Bam hanya diam memerhatikan. Penyesalan akan selalu berada diakhir. Bam menyesal karena tidak memercayai takdir Tuhan, jika saja dirinya bisa lebih bersabar... Aku pasti bisa bersama keluarga kecilku ini.
Egois memang, tapi Bam pasti bisa melakukannya—jika memiliki niat yang tinggi.
√√√√√
02.02.2017
Revisinya untuk typo dan kesalahan penulisan[09.05.2017]
KAMU SEDANG MEMBACA
PASTA (BACA LENGKAP DI DREAME)
ChickLitTersisa 5 Bab. Bab lengkap bisa dibaca di Dreame via web atau aplikasi. Uname : Faitna Andini Versi lebih rapi dan tambahan epilog. Berharap kehidupan akan bersikap dewasa? Kinan membuang jauh-jauh itu. Baginya, kedewasaan dalam diri saja yang akan...