EMPAT

23.1K 2.6K 69
                                    

PASTA

|•|

Setiap hari, selama Kinan meninggalkan Bam, pria itu selalu mengeluh merasakan nyeri di dadanya. Bukan nyeri yang bersifat perasaan saja, tapi dalam bentuk nyata. Seolah kesehatan Bam juga ikut terganggu akibat menghilangnya belahan jiwanya.

"Kamu itu kenapa, sih? Jangan kayak gini terus, Bam. Kasian istri kamu kalo kamu keliatan sakit-sakitan begini. Emangnya dia nggak ngurus kamu? Dia udah ngurus kamu luar biasa, lho. Mama bisa liat gimana dia telaten-"

"Bam harus berhenti," ucap Bam menyela kalimat menggebu ibunya.

Riza mengernyit heran. Jika ada kata 'berhenti' maka bagi Riza, Bam sudah seharusnya berhenti mengharapkan Kinan dalam hidup putranya itu.

"Bagus kalo kamu paham. Memang sudah seharusnya kamu berhenti mengharapkan Kinan, wanita itu nggak sepadan dengan usaha keluarga kita menerima dia."

"Bam harus berhenti hidup dengan Alisia, Bu!" tegas Bam.

"Bam!" bentak Riza.

"Berhenti, Bu! Berhenti untuk membuat hubungan Bam dan Kinan semakin hancur. Kinan pergi, Ibu puas?! Lisi nggak seharusnya ada di sini, Kinan yang seharusnya di sini. Kinan punya andil besar dalam hidup Bam! Dia wanita yang Bam cintai, bukan Lisi!"

Plakkk

Satu tamparan keras berhasil memberi riasan pada pipi Bam. Riza sudah tidak tahan dengan ocehan putranya mengenai mantan istrinya itu. "Ah, ya ampun!" Riza menghela napas kuat, dan menatap Bam dengan tidak percaya. "Entah sampai kapan kamu akan terbutakan, Bam! Ada Lisi untuk kamu, ada Lisi yang siap memberi kamu keturunan, dan seharusnya kamu sadar kalo kamu sudah menanam benih dirahim Lisi! Jangan bodoh dengan terus membicarakan Kinan!"

PASTA (BACA LENGKAP DI DREAME)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang