Bab 3

5.1K 278 14
                                    

Nasehat Maya

Seorang diri aku menatap malam dari balik jendela. Merindukan apa yang tidak bisa dipunyai dan mencari segala yang tak mungkin dimiliki. Pertengkaran sehari lalu membuatku muak lagi. Aku mematikan ponsel, tidak ingin mendegar ada bunyi dering panggilan dari Adri. Melihatnya menelpon, hanya membawa goyah dalam hati yang sejak awal telah amat rapuh ini.

Aku menutup mata mengitung hingga seratus dan berharap esok atau lusa segala hal jadi lebih mudah. Tapi keyakinan tak pernah cukup untuk melewati satu hari panjang. Ketika mata yang menatap muka bumi ini terbuka, yang kulihat sekali lagi hanya jendela dan rasa kecewa. Untuk menghilangkan penat karena kehabisan alkohol aku meminum segelas kopi sampai pagi menjelang, dan matahari dengan sinarnya yang jahat membuatku ingat untuk hidup lagi. Aku tidak pernah tahu apa yang kurasakan, selain sendiri tak terputus dan hampa yang selalu kosong. Aku tahu, hidup tak pernah membuat seseorang benar-benar memiliki hanya sebatas menggenggam untuk ditinggal pergi. Walau begitu tak pernah ada yang menjelaskan padaku, kenapa aku merasa sekosong ini.

Denting bel yang berulang membangunkan kepalaku dari meja yang jadi alas tidur. Tanpa penasaran aku beranjak ke depan pintu, membukanya tanpa mengintip lebih dulu. Ya, tak ada siapa pun untuk disembunyikan hari ini.

"Selamat pagi, Mbak Raina?" sepasang mataku menatap muka dengan suara asing itu. Pria bertubuh kecil dengan muka bulat, hidung pendek dan senyum lebar yang nampak lucu menyapaku penuh keakraban. Aku diam, bersikap abai selama beberapa detik.

"Siapa kamu?" dengan cukup semangat ia memperkenalkan diri.

"Saya Arofik, Mbak, manager baru yang Pak Adri kirim untuk bekerja mulai hari ini!" mendengar nama itu membuatku merasa muak. Aku menutup pintu, lalu kembali ke dalam untuk menghabiskan gelas kopi yang kutinggalkan barusan, sekalipun orang yang menyebut dirinya Arofik itu terus saja memanggil tanpa henti di depan pintu.

Aku berjalan ke kamar, mencuci muka dan mengganti pakaian. Aku ingin pergi menemui Maya, memintanya kembali menjadi managerku, meski aku tahu dia mungkin masih sangat marah padaku karena kejadian dua hari yang lalu. Aku paham jelas alasan mengapa dia begitu tidak suka, karena Maya peduli padaku. Kami sudah hidup seperti saudara. Aku tinggal di rumahnya, tidur di kamar yang sama dan menganggap kedua orangtuanya juga sebagai orangtuaku juga.

Aku masih ingat kejadian yang terjadi 14 tahun yang lalu, ketika hujan deras turun dengan gemuruh yang menghentak malam tanpa henti. Seorang diri aku berjalan melewati hujan tanpa sepeser uang untuk menemui keluarga Atmadja yang begitu terhormat, untuk meminta bantuan demi beberapa rupiah agar bisa membeli obat ibu yang malam itu anfal, karena sudah berminggu-minggu tak meminum obat, sampai dia mengamuk parah hendak mengakhiri hidup.

Di depan rumah mereka yang seperti istana aku berdiri, memohon bisa masuk ke dalam rumah untuk meminta bantuan. Tapi aku diacuhkan, terbaikan sekalipun berteriak tanpa henti sampai suaraku rasanya akan habis. Aku menunggu sampai tengah malam, hanya untuk melihat pintu rumah seseorang yang seharusnya bisa kupanggil ayah itu terbuka.

Benar, pintu itu terbuka dan memenuhi hatiku dengan banyak harapan. Harapan yang hanya dalam beberapa menit sirna begitu saja karena penghinaan bertubi-tubi. Aku diusir ke jalanan seperti seorang gelandangan dengan gelar sebagai anak haram. Hari itu hanya ayah Maya yang datang menaungiku dengan sebuah payung, menolongku berdiri dari air comberan yang membuatku merasa begitu busuk. Sampai hari ini, tiap mengingat kejadian itu rasanya jantungku terbakar dan kemarahanku memuncah. Aku merasa mati ratusan kali, dan bersumpah untuk bisa mencari kesempatan menghancurkan keluarga itu. Membuat mereka hidup di jalan dan merangkak seperti orang terhina. Sampai hari itu terjadi, aku merasa tidak akan pernah bisa mati dengan tenang. Tidak akan pernah!

Perempuan Ke Dua Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang