Bab 4

4.6K 254 12
                                    

Usaha Adri

Aku berjalan di depan jendela, meraba juntaian gorden putih yang mengayun terkena alunan dari angin. Bolak balik langkahku demikian, merasai kain lembut itu menyentuh kulitku sambil mengatup mata. Menghitung dari satu hingga seratus dan berharap ketika mataku membuka semua hanyalah mimpi dan aku mampu menapaki esok pagi tanpa beban. Tapi sekali lagi, aku lupa bila membuka mata berarti menghadapi kenyataan, dan kenyataan ini teramat menyakitkan. Aku tahu seseorang yang memilih meninggalkan akan selalu memiliki kemampuan menghadapi, meski kadang ada rasa goyah dan gentar karena rindu. Benar, kata-kata demikian pantas aku sematkan bagiku di hari ini. Kemarin aku telah resmi melepas status sebagai 'simpanan'. Entah haruskah aku bersorak gembira atau menangis sedu, karena aku juga meninggalkan seorang pria yang kucintai.

Haruskah kuberitakan ini pada Maya dan berkata kalau aku telah sadar karena petuah perempuan yang begitu lantang ia orasikan di depan mukaku, ataukah aku biarkan saja ia diam, terus marah dan hanya kembali ketika ia perlu? Aku tak tahu. Tubuhku lelah, hingga duduk berjongkok di depan jendela, melihat matahari siang, dan ramai orang di jalanan. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan, ketika tak menemukan sesuatu untuk kulakukan atau seseorang untuk kutuju, aku merasa hampa. Tapi siapa yang dipunya diriku di muka bumi? Tak ada, semua telah pergi dan sekali lagi aku sendiri.

Tatapanku berpaling ke arah lemari yang kubiarkan terbuka sejak tadi. Ada beberapa pakaian Adri terlipat rapi di sana. Haruskah aku mengambilnya lalu menjadikannya alasan untuk bertemu atau membuangnya karena tak ada alasan lagi untuk jumpa. Aku menuju ke sana, mencium bau parum dan wangi tubuhnya dalam seberkas ingatan dulu dan kemarin. Aku goyah lagi, dan membuangnya ke lantai. Kucari sebuah kardus bekas di dapur dan mengambil semua pakaian itu, memasukkannya ke sana untuk dibuang. Masa lalu tak boleh dikenang, hanya untuk dijadikan sampah tanpa menyayangkan.

Di depan lift aku menunggu dengan sabar, sampai kedua pintunya membuka. Ketika lift menganga yang kutemukan muka Adri seorang diri dengan sebaris senyum ramah. Aku menimbang sebentar sebelum memutuskan masuk. Suasan bersamanya sedikit kaku, aku tak bertegur sapa dan berupaya anggap ia tak ada.

"Aku datang untuk menemui Brian! Kau mau ke mana?" kutekan tombol menuju lantai dasar.

"Siapa?" tukasku kemudian. Ia berpaling dengan senyum lebar.

"Aku?"

"Tanya!" Adri bergumam, berdehem bersama senyumnya yang berganti kesal. Ia melirik lagi ke arahku.

"Kamu bawa apa, mau aku bantu membawanya?" aku melirik pintu atas lift, angkanya berganti cepat, dari satu lantai ke lantai lain tanpa memedulikan ucapan Adri. Pria di sampingku itu menyapu keningnya lalu berdehem lagi. Ponselku tiba-tiba berdering, sebuah panggilan dari produser film yang aku ikut bermain dalam filmya, membuatku buru-buru mengangkatnya. Meletakkan kardus dalam pelukanku ke lantai lift.

"Selemat sore bang!"

"Ya, sore! Abang cuma mau mengingatkan kalau syuting pertama minggu depan di kawasan Senayan City dekat gedung TV2. Kamu tahu 'kan?"

Alisku mengerut mendengar nama stasiun televisi itu disebut, "Iya tahu tapi, kenapa tiba-tiba ada perubahan. Bukannya di infokan di Kebun Jeruk?"

"Ini rahasia, jangan bilang-bilang! Yang punya stasiun tv mau jadi sponsor film, kalau lokasinya di ambil dalam gedung kantornya. Aneh 'kan pemiliknya kelewat baik, mau meminjamkan gedungnya untuk syuting adegan action kita dan sekaligus jadi sponsor" aku melirik ke arah Adri yang malah membuka kardus bawaanku tadi, seperti anjing kecil sedang mencari sisa makanan.

"Raina, benar kamu tidak ada Manager lagi? saya telpon Maya tapi dia bilang bukan manager kamu lagi!" aku mengulurkan kaki, menjauhkan benda itu dari Adri. Pria itu memasang muka kesal lagi.

Perempuan Ke Dua Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang