Bab 2

7.8K 313 24
                                    

Hidup Seorang Simpanan

Aku memandang mentari sore di antara puncak gedung kota Jakarta. Hatiku perih melihat langit jingga, hingga kuraih gelas alkohol untuk menghilangkan lelah, penat setelah bekerja. Selama beberapa hari ini aku terus menunggu telpon dari Adri. Seperti yang pernah ia janjikan akan menghubungi setelah liburan keluarganya berakhir, namun nihil, sudah lebih dari dua minggu dan tak ada pesan, telpon atau apa pun. Kadang aku jengah, ketika ia bersama keluarganya aku terabaikan, ia baru akan memungutku ketika rindu. Bukankah aku lebih mirip binatang peliharaan, dibandingkan seorang kekasih yang dihormati? Bahkan seekor peliharaan lebih dicintai ketika ia dipertontonkan, bukan disembunyikan dibalik kardus lapuk yang dimakan senyap.

Kusenderkan tubuh di teralis balkon, menatap kolam renang yang penuh sesak orang. Sekali lagi aku mengeceki ponsel meski tak berbunyi. Begitu perihnya menunggu, ketika penantian tak membuat seseorang jatuh dalam rindu. Aku teguk lagi alkoh itu hingga sensasi kepahitannya menyegarkan bebanku.

Ponsel berdering membuat kegembiraan memuncah dalam hatiku, kupikir itu Adri, tapi bukan. Hanya sebuah pesan sms banking membuatku merengut heran. Sebuah transfer 50 juta barusan saja masuk dalam rekeningku. Aku mengirim pesan pada Maya, mencaritahu apakah ada honor yang belum terbayar. Ia membalas lekas dan berkata, semua honor telah di transfer kemarin, sedangkan honor syuting baru akan dibayar ketika film lepas ke pasaran.

Kubanting gelas ke lantai. Amarahku pecah, kukira Adri sudah berulah dan mengirim uang itu sebagai tebusan karena tidak menemuiku. Aku selalu benci diperlakukan seperti perempuan yang dibeli dengan uang. Alasanku bersama dengannya karena aku mencintainya, semua uang, barang dan kemewahan yang kumiliki tidak lain karena aku bekerja. Rasanya, harga diriku diinjak sebanyak nilai yang dia beri.

Aku menelponnya, tapi panggilanku ditolak. Aku terus menghubungi dengan kesal sampai dia menyerah dan mengangkat telpon. Tapi yang Adri lakukan malah mematikan ponsel. Aku tertawa pahit, dan meluapkan rasa kesal dengan membanting semua barang yang ada di kamarku, membalik selimut, melempar bantal dan memberantakan semua barang. Aku meluapkan kemarahan sampai merasa tidak akan meledak dan tak akan mati karena amarah. Setelah puas, aku terduduk di lantai, meratapi betapa kesepiannya aku sekarang.

Kuraih ponsel, dan membuka galeri untuk mencari foto wajah ibu yang tertutup banyak gambar lain. Aku ingat sudah berhari-hari semenjak kami terakhir bertemu dan aku belum datang lagi menjenguknya. Aku takut bertemu, cemas jika ia merengek padaku, meminta ikut pulang. Hal yang tidak bisa kulakukan, untuk mengurusnya di tengah kesibukan yang tak menentu. Aku biarkan ibu juga kesepian, entah sampai kapan.

Kuambil obat tidur dari dalam meja di samping tempat tidur, lalu meneguknya cepat. Setelah itu kulangkahkan kaki ke kamar mandi, mengisi bak dengan air hangat dan menenggelamkan diri sambil mencoba memejamkan mata yang tak bisa mengatup, karena resah akibat mimpi buruk yang terulang.

Aku tidak ingat berapa lama aku terbaring dalam bak mandi sampai aku terbangun di atas tempat tidur dengan pakaian hangat, dan selimut yang membalut badan. Dari lampu tidur di samping meja, nampak semua barang yang tadinya berantakan telah sedikit lebih rapi dari sebelumnya. Aku meringkuk lebih lama karena kedinginan, sambil berbalik badan memandang lampu-lampu kota dari balik kaca yang tirainya dibiarkan terbuka.

Pintu kamar dibalik punggungku terbuka, seseorang melangkah masuk. Aku menengok sebentar, melihat pria berbadan tegap itu duduk di sofa sambil mengetik terpaku ke arah laptop di depannya. Aku tidak mengatakan apa pun, memilih melanjutkan tidur.

"Ada masalah apa kamu menelpon?" ucap suara tegas sedikit serak itu.

Aku menegakkan badan, menatap mata sipit Adri yang tertutupi kacamata, memaku ke layar komputer "Untuk apa, untuk apa kamu mengirimiku uang?"

Perempuan Ke Dua Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang