Dia yang diam, punya sejuta kata untuk diungkapkan.
Dia yang diam, punya sejuta rasa yang ingin disampaikan.
Dia yang diam, diam-diam memperhatikanmu.
[.]
Namanya Tirta. Tenang seperti air dan menyejukkan. Dia tinggi, dia tampan, dia pintar, dia berbakat. Hampir seluruh alat musik akan menari jika berada di tangannya. Mulai dari petik, gesek, pukul hingga tiup. Mulai dari gitar, biola, drum hingga flute. Dia bisa memainkan semua itu. Jika melihat sekilas, mungkin para remaja putri akan segera jatuh hati kepadanya. Apalagi senyumnya yang menawan. Namun jika mereka tahu kekurangannya, mereka pasti akan pergi menjauh.
Kekurangannya adalah dia bisu.
Bukan karena sejak lahir, melainkan karena pita suaranya yang rusak setelah tidak sengaja tertusuk sebuah besi yang ada di taman bermain sekolahnya dulu ketika ia masih duduk di taman kanak-kanak. Dia menerima kekurangannya itu, walau sesekali dia merindukan suara yang keluar dari tenggorokannya. Dia bersekolah di sekolah biasa, bukan sekolah anak berkebutuhan khusus. Dia senang berada di sini. Tidak ada yang membullynya dan mereka semua menganggap Tirta seperti anak biasa.
Hidupnya monoton. Itu itu saja. Dia sama seperti remaja lainnya. Bersekolah di sebuah SMA, senang hangout dengan teman-temannya. Dia juga bisa jatuh cinta. Untuk pertama kalinya, Tirta jatuh hati pada seorang gadis. Dalam diamnya, dia mengungkapkan sejuta pinta. Dalam diamnya, dia mengatakan berbagai kata. Dalam diamnya, dia berusaha menyampaikan bahwa dia mencintai gadis itu.
Tirta menyamar menjadi seseorang. Petrichor nama samarannya. Setiap malam Minggu dia mengirimkan rekaman sebuah lagu yang ia mainkan dengan menggunakan alat musik yang berbeda. Mungkin sekarang piano, lalu berikutnya flute dan begitu seterusnya. Gadis yang ia cintai itu menerima kiriman lagu dari Sang Petrichor dengan senang hati. Membalas setiap chat yang dikirimkan oleh Tirta dan bagi Tirta, itu sudah membuatnya senang.
Hari ini hujan turun. Membasahi bumi dan memberikan aroma khasnya yang menenangkan. Beberapa siswa berlarian menuju kendaraan mereka masing-masing dengan menggunakan payung. Beberapa yang lainnya berjalan dengan membawa payung. Yang lain berteduh di kantin sambil memakan bakso, tapi Tirta memilih berdiri di depan pintu masuk sekolah. Hanya dia sendirian di sana karena manusia yang berada di sekolah ini perlahan menipis.
"Hai, Tir," sapa seorang gadis berambut sebahu yang kini berdiri di samping Tirta.
Tirta tersenyum tipis. Gadis yang ia kirimi instrumen lagu setiap Sabtu malam kini berdiri di sampingnya. Membuat jantung Tirta berdegup lebih kencang dan tubuhnya sedikit berkeringat padahal udara di sini menjadi dingin setelah hujan.
"Nunggu di jemput?" tanya gadis itu, Shanin.
Tirta menggeleng lalu mengeluarkan ponselnya dan mengetik sesuatu. 'Saya nunggu hujan reda,' tulisnya.
Shanin mengangguk mengerti. "Udah nyalin hasil pengamatan dari Gavin belum?"
Tirta menggeleng. 'Emang dikumpulin kapan?'
"Seminggu lagi sih," jawab Shanin.
Tirta manggut-manggut. 'Kamu sendiri dijemput?'
"Enggak," Shanin menggeleng. "Aku gak pernah dijemput."
'Mau pulang bareng saya?' tawar Tirta dengan menggunakan bahasa isyarat.
"Rumah kita searah?" Dahi Shanin berkerut.
Tirta mengangguk.
"Ya udah ayo kalau hujannya udah berhenti." Shanin tersenyum.
Shanindya Hanata. Gadis yang membuat hidup Tirta lebih berarti di hari-hari terakhir masa putih abu-abunya. Setahun terakhir ini, Shanin memenuhi memori Tirta. Membuat hidupnya berwarna dengan melihat gadis itu setiap hari di kelas. Witting tresno jalaran seko kulino. Mungkin karena itu Tirta jatuh cinta.
KAMU SEDANG MEMBACA
Invisible
Short Story[KUMPULAN CERITA PENDEK] Dari dia yang mencintaimu, tapi tak bisa mengatakannya. Copyright © 2017 by sarvio #134 Short Story [260717]