"Bukan salahmu jika kamu jatuh cinta, bahkan pada kekasih orang sekalipun. Cinta tidak memandang ruang dan waktu bahkan usia. Terkadang dia memang tidak masuk akal."
✨✨✨
Dengan canggung kakiku ini melangkah. Menggenggam erat tali dari tas serut warna hitam yang kupakai sekarang. Berulang kali aku menghela napas. Tak punya teman, tak ada yang kukenal. Ya, sebenarnya ada, tapi mereka berbeda fakultas denganku.
Suara keramaian samar-samar terdengar dari lantai atas. Beberapa dari kami--para mahasiswa baru--sudah memiliki teman atau kenalan di sini. Sayangnya aku begitu asing, aku tak kenal mereka semua. Genggaman tanganku mengerat, kubenarkan letak kacamataku lalu berjalan mendekati kerumunan.
Bukan orang-orang yang mengobrol, tetapi barisan orang yang mengantri untuk registrasi sebelum akhirnya memasuki ruangan yang telah disediakan. Lagi-lagi aku menghela napas, jantungku berdegup kencang.
Beberapa kakak tingkat sudah berjajar dan tersenyum ramah, sambil memberi hi-five kepada para mahasiswa baru yang memasuki ruangan. Aku menatap sekeliling, mereka semua berbaris menurut kelompok yang dibagi saat registrasi tadi.
Empat belas, itu kelompokku.
Aku beralih menatap jajaran kakak tingkat yang memegang sebuah kertas HVS ukuran F4 bertuliskan angka. Hingga aku menemukan dimana aku harus duduk. Kau tahu? Rasanya benar canggung. Aku duduk tepat di hadapan kakak tingkat yang membawa nomor empat belas itu, dan aku yang pertama.
Satu-satunya anggota kelompok empat belas untuk sementara ini. Aku menunduk, menatap jemariku dan mencoba untuk bernapas--menghela napas beberapa kali. Apalagi kakak tingkat yang ada di hadapanku adalah laki-laki. Bukan apa-apa, tapi kau tau, ya... rasanya seperti itulah.
"Ah iya, kalau boleh tau nama kamu siapa?" tanya laki-laki yang pada outter-nya tertera jelas nama 'Langit Charisma K.' itu. Mungkin karena kami terlalu hening dan anggota masih belum bertambah. Asal kau tahu, laki-laki ini yang akan menemanimu dalam kata-kataku selanjutnya.
"Aku Raina, Kak."
Dia tersenyum, manis. Semanis gula dan entah kenapa tubuhku berdesir hanya karena senyumannya saja. "Aku Langit, selama satu minggu ke depan, aku jadi pendamping kelompok empat belas."
✨✨✨
Hari berganti, waktu berlalu. Pengenalan-pengenalan mulai dari universitas hingga progdi--program pendidikan--sudah dimulai sejak hari pertama kami masuk. Ya.. ternyata di sini tidak terlalu buruk juga. Maksudku orang-orangnya. Ini hari ketiga dan aku sudah memiliki teman. Beberapa teman lebih tepatnya.
"Guys, nanti kita mulai bikin maketnya ya?" ajak ketua kelompok kami, Dian namanya tapi dia laki-laki.
Setelah mendengar kata maket, sepertinya kalian sudah tahu jurusan apa yang kuambil di tempat ini. Yups! Arsitektur. Seorang Raina yang tidak bisa menggambar garis dengan lurus--bahkan dengan penggaris pun masih miring--berhasil masuk jurusan arsitektur. Kau tau, aku pun syok saat melihat hasil pengumuman di layar laptopku.
"Kalian mau bikinnya dimana?" timpal Kak Langit yang datang entah dari mana. Dia menghilang setelah acara hari ketiga berakhir bersama panitia lain dan entah mengapa bisa menemukan kami di sini.
"Di Kafe Semesta aja gimana? Asik tuh tempatnya, mayan lebar lagi," usul Alda, dia perempuan dan teman yang cukup dekat denganku sementara ini. Kami sering berbalas chat di aplikasi hijau berlogo gagang telepon.
"Jangan jauh-jauh dong, aku enggak ada motor," timpalku yang merasa sedikit keberatan karena jarak antara kostku dengan kafe yang Alda maksud cukup jauh untuk berjalan kaki.
KAMU SEDANG MEMBACA
Invisible
Short Story[KUMPULAN CERITA PENDEK] Dari dia yang mencintaimu, tapi tak bisa mengatakannya. Copyright © 2017 by sarvio #134 Short Story [260717]