Dandelion

3K 281 12
                                    

Untuk setiap perasaan yang tidak pernah kusampaikan kepadamu,

Tanyakan saja pada setiap biji bunga dandelion yang berterbangan di udara setiap senja.

Karena pada setiap biji bunga itu,

Perasaan, harapan, dan lukaku melebur menjadi satu.

[.]

"Lima."

"Empat."

"Tiga."

"Dua."

"Satu."

Matahari akhirnya benar-benar menghilang dari kaki langit. Meninggalkan jejak jingga dan langit hitam yang sedang bersiap menyambut bulan dan bintang. Semilir angin berhembus menerpa rumput hijau di sebuah lapangan sepak bola yang ada di halaman belakang sebuah sekolah menengah atas. Jika dihitung, ini sudah sembilan puluh empat hari sebelum ujian nasional dimulai tapi tak pernah seharipun Andra meninggalkan aktivitasnya untuk menatap matahari terbenam di tempat ini. Gadis itu senang menikmati lagu senja yang dialunkan oleh alam. Suara jangkrik dan binatang-binatang malam, serta suara dedaunan di pohon yang tertiup angin.

Andra tak sendirian. Dia bersama seorang laki-laki. Mereka berdua sudah berteman sejak lama dan melakukan banyak hal bersama-sama. Ini salah satu contohnya. Laki-laki yang memakai kaos futsal bernomor punggung 31 itu tersenyum walaupun nyamuk mulai berusaha menghisap darahnya. 31 merupakan sebuah angka sakral bagi seorang Evan. Andra, dirinya dan sahabat mereka yang lain, Maureen, lahir pada tanggal yang sama yaitu 31, hanya saja Maureen lebih muda satu bulan dari Evan dan Andra. Pada tanggal 31 di bulan Juli, ketiganya bertemu sebagai sebuah kelompok saat masa pengenalan sekolah. Namanya masih MOS kala itu.

Andra kemudian memetik sebuah bunga dandelion lalu meniupnya sambil memejamkan mata.

"Sebenernya apa faedahnya lo merem sambil niup dandelion? Setiap dateng ke sini pasti lo gitu," tanya Evan yang sedari tadi memperhatikan gadis itu.

"Make a wish sekalian curhat," jawab Andra.

"Curhat sama bunga." Evan mencibir.

"Kamu tidak tahu betapa saktinya bunga ini wahai, Evan," ucap Andra tak terima.

"Emang apa hebatnya?"

"Kalo kamu niup bunga dandelion sambil make a wish, harapan kamu akan terkabul. Syarat lainnya adalah kamu harus niupnya waktu senja," jelas Andra, tapi Evan hanya menatapnya aneh.

"Ada ya yang kaya gitu?"

Andra mengangguk mantap.

Evan kemudian mengambil setangkai bunga dandelion lalu meniupnya. "I wish I could date with my crush."

Andra segera menatap Evan. "Kamu suka sama cewek, Van?"

Evan tersenyum lalu mengangguk.

"Wih, siapa? Kok enggak pernah cerita sih?"

Evan kemudian menatap Andra. "Lo, Diandra Rossi."

Dan sialnya, jantung Andra berdegup dengan kencang.

[.]

Lama tak terdengar kabar tentang Evan sejak hari itu. Evan menghilang dari hadapannya. Semuanya berubah. Tak ada lagi Evan yang menemaninya menunggu matahari terbenam. Tak ada lagi Evan yang akan berlari dan memberinya sebungkus milkita. Tak ada lagi Evan yang akan membuatnya tertawa seharian atau mengajarinya matematika. Evan yang sekarang bukan lagi Evan yang Andra kenal.

InvisibleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang