Jay melangkah masuk ke dalam rumah begitu Ellena membuka pintu apartemennya. Bocah itu melepaskan sepatu dan kaos kaki dan melemparkannya ke sembarang arah sebelum berlari menuju sofa dan menyalakan televisi.
Ellena menatap kelakuan bocah itu dengan tatapan gondok setengah mati, sekarang tatapannya beralih pada sepatu dan kaos kaki yang terdampar sampai ke dapur dan kamar mandi.
"Jay, ambil sepatu dan kaos kakimu. Letakkan dengan rapi di rak sepatu!" Pinta Ellena yang baru saja mengunci pintu dari dalam.
Jay yang baru menyalakan televisi hanya menoleh sekilas, kemudian kembali menatap layar televisi tanpa berniat merespon ucapan Ellena.
"Jay Lavyn! Letakkan sepatu pada tempatnya!" Kali ini Ellena mengulang perkataannya dengan nada setengah berteriak.
Merasa terusik dengan teriakan Ellena, Jay pun menoleh dan balik menantang Ellena. "Kalau aku nggak mau, kamu mau apa?"
Ellena shock selama beberapa detik, tidak menyangka akan mendapat jawaban seperti itu dari seorang bocah ingusan.
"Aku mau buang sepatumu," jawab Ellena dengan wajah serius pada akhirnya, tapi putra bos culunnya menganggap bahwa ancaman Ellena hanyalah sekedar gertakan semata.
"Kamu nggak bakal berani," Jay tersenyum meremehkan dan kembali mengalihkan pandangan ke layar televisi. Namun begitu dia mendengar suara nyaring kaleng tempat sampah, dia langsung menoleh ke asal suara dan mendapati Ellena menepuk-nepuk telepuk tangannya yang sedikit berdebu. Dia tidak menyangka bahwa Ellena serius dengan ucapannya.
Menyadari Ellena benar-benar membuang sepatu dan kaos kakinya ke dalam tempat sampah, Jay langsung bergegas menghampiri Ellena yang berada di dapur.
"Kenapa kamu buang sepatu aku?" Tanya Jay dengan nada berteriak. Ellena pura-pura meringis sambil menutup sebelah telinganya. Sengaja menunjukkan pada bocah itu bahwa berteriak seperti itu mengganggu pendengarannya.
"Ambil!" Titah Jay bak raja yang sedang memerintahkan budak. Dia menunjuk sepatunya yang sudah berada di dalam tempat sampah, meminta pertanggung jawaban Ellena untuk mengambil sepatunya dan menggosoknya sampai bersih.
"Kalau aku tidak mau, kamu mau apa?" Ellena tersenyum miring, membalikkan ucapan Jay.
"Kamu..." Bocah itu tampak kehabisan kata-kata. Ellena merasa menang melihatnya tidak bisa menjawab.
Tapi Jay tidak mau kalah dengan karyawan baru ayahnya, dia masih berusaha untuk melawan Ellena. "Aku... Aku bilangin dad, biar kamu dipecat!"
Ellena membulatkan matanya, pura-pura takut. Dia takjub anak sekecil Jay bisa menyebutkan kata 'pecat', sepertinya anak ini adalah korban sinetron. Ellena jadi penasaran tentang pekerjaan ibunya Jay. Apakah dia tidak pernah mengajarkan anaknya untuk bersikap lebih sopan santun?
Meskipun Ellena bukanlah tipe wanita yang lembut dan sopan, sewaktu dia masih kecil, dia sama sekali tidak pernah melawan orang yang lebih tua. Melihat sikap Jay yang seperti ini, dia jadi berpikir apakah bocah itu makan nasi atau makan batu? Bisa-bisanya karakternya keras seperti batu.
"Oh, kamu mau lapor ke daddy kamu? Silahkan!" Ellena mengeluarkan ponsel dari saku celananya dan mengacungkannya di depan bocah itu. "Aku juga mau telepon daddy-mu, ah. Kita lihat, dia lebih percaya aku atau kamu yang sudah mengusir empat orang suster?"
Mereka berdua saling adu tatap selama beberapa saat. Tidak ada satu pun diantara mereka berdua yang mau menyerah, sampai akhirnya Jay lelah sendiri.
"Aku bakal maafin kamu, Ellena. Kalau kamu ambilin sepatu aku lagi dari tempat sampah."
Ellena tertawa mendengarnya. Bocah rese ini benar-benar hebat sekali, dari caranya bicara dia seolah menegaskan bahwa dalam hal ini Ellenalah yang bersalah. Benar-benar kelicikan yang menurun dari Melvern Wijaya Hantara.
KAMU SEDANG MEMBACA
MY MONEY TREE (TELAH DITERBITKAN)
ChickLitEllena Reinadeth Sridjaja, shopaholic sejati yang tidak bisa hidup sehari tanpa belanja. Hobinya menghabiskan uang. Cita-citanya pun hanya ada satu, yaitu menikahi pria kaya dan hidup bahagia selama-lamanya. Terobsesi untuk mencari "pohon uang", a...