Bab I

445 24 10
                                    

BAB I

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


BAB I

Ini adalah kisah kakek dari kakekmu, yang tak sempat disampaikan lisan tetua kepada ingatan yang muda. Kakek dari kakekmu bernama Linggar. Ia seorang penanam padi.

Di hari yang bergerimis itu seorang pemuda dengan perawakan tegap dan kekar nampak gagah melewati gapura desa di mana Linggar berada. Pemuda itu menyeret seekor buaya yang sedang sekarat sebesar sapi dewasa. Pada mulut buaya, melilit akar pepohonan yang cukup kuat untuk membuat moncong bergigi tajamnya bungkam tak bergerak. Penduduk desa nampak terkesima dengan kejadian itu.

Pun demikian dengan hari-hari berikutnya, dua atau tiga kali pada tiap pekan paling tidak pemuda itu melewati desa Linggar berada dengan membawa buaya sekarat atau yang memang sudah mati. Menyeretnya seorang diri. Sesekali pemuda itu mampir pada warung-warung desa Linggar untuk sekadar membeli minum atau makan. Maka terang saja para penduduk desa sengaja mendatangi pemuda itu untuk sekadar tanya atau mengharap cerita menarik dari si pemuda pembawa buaya. Hingga tahulah para penduduk desa bahwa pemuda itu bernama Sobo. Ia seorang pemburu buaya.

Para gadis desa diam-diam mulai mengidolakan Sobo. Bukan hanya karena tegap badan, tebal alis, mancung hidung dan kekar tubuhnya. Sobo terlihat mengagumkan bukan hanya secara jasmani saja, namun juga karena ketenaran dan prestasinya sebagai jagoan pemburu buaya, tangguh dan jantan.

Sebagaimana para gadis desa itu, kaum pria muda desa juga diam-diam semakin ingin tahu secara jelas, sebenarnya untuk apa buaya-buaya buruan itu? Di mana pula tempat Sobo tinggal, dan di mana pula Sobo memburu buaya?

Tak jauh beda dengan para lelaki kampungnya, Linggar yang juga masih muda berhasrat untuk mencari tahu pula jawaban dari pertanyaan yang sama dengan para pemuda di kampungnya. Maka dimulailah petualangan Linggar pada suatu sore yang paling gerimis dari sore-sore yang lalu di desanya.

Seperti biasa, Sobo melewati desa dengan menyeret buaya buruannya. Dan sudah menjadi biasa pula para gadis diam-diam mengada-adakan alasan untuk keluar dari rumah menuju depan halaman, sekadar mendeplok pari membunyikan lesung atau barangkali hanya sekadar menjemur karakan dan melinjo. Apapun, asal bisa mencuri pandang dan dicuri pandang dengan gaya malu-malu kucing oleh idola baru desa itu, Sobo. Tapi, sayangnya sore itu sedang gerimis, jadi tak banyak alasan yang bisa dibuat-buat para gadis desa untuk curi-curi perhatian keluar rumah.

Linggar yang sedari awal melihat Sobo lewat gapura desa, terus mengamati semua kejadian itu. Termasuk tingkah polah para gadis kepada Sobo yang membuatnya semakin iri.

Pemuda pemburu buaya mampir ke salah satu warung di desa itu. Seperti biasa pula, orang-orang dengan mental pengikut sengaja mendekati Sobo, untuk barangkali numpang tenar.

Selepas Sobo mampir dari warung, ia melanjutkan perjalanan. Keluar dari desa Linggar. Tentu saja Linggar masih terus mengikutinya secara sembunyi-sembunyi. Namun tak dinyana, secara mendadak, Sobo menghentikan langkahnya. Ia lepaskan cengkramannya pada ekor buaya yang sedari tadi ia seret. Kemudian Sobo duduk santai menghadap arah di mana Linggar bersembunyi. Matanya tenang memandang di sana.

"Apakah kau tak terlalu jauh mengikutiku?" kata Sobo tenang namun begitu menggema.

Linggar geragapan. Ia masih belum yakin kalau yang diajak bicara oleh lelaki pemburu buaya adalah dirinya. Ia masih bersembunyi.

"Sejak awal masuk desa tadi, aku tahu kau terus mengikutiku. Jadi percuma saja kalau kau masih bersembunyi," tambah Sobo.

Linggar semakin panik. Tak dirasakannya keringat dinginnya menderas. Entah kenapa, tiba-tiba ia merasa ketakutan. Pikiran tragis macam-macam mulai menggenapi isi kepalanya. Namun, tak urung juga ia keluar dari tempat persembunyian.

"Sebenarnya aku tak bermaksud mengikutimu. Aku hanya sedang mencari tahu tentangmu," kata Linggar sekenanya.

"Siasat berbicaramu benar-benar sama seperti para pejabat kerajaan. Makna yang disampaikan sebenarnya sama, namun pemilihan katanya dipelintir sedemikian rupa supaya bisa diterima oleh telinga pendengarnya."

Linggar semakin pucat pasi mendapat sanggahan itu.

"Baiklah, aku mengaku salah," kata Linggar, pasrah juga, dadanya berdebar kencang.

"Ha-ha-ha. Kau benar-benar masih sangat polos. Kemarilah," kata Sobo ramah.

"Maafkan aku. Aku tidak bermaksud jahat. Aku akan pergi sekarang," Linggar berjalan kikuk berbalik arah hendak pulang melarikan diri.

Namun, belum genap dua langkah, sebuah tombak dengan mantapnya meluncur dan menancap cukup dalam pada sebuah batang pohon di sebelah Linggar. Hempasan anginnya terasa begitu kuat menembus pori-pori wajah pemuda itu. Paling tidak, hal yang demikian menjelaskan banyak hal, terutama tentang seberapa kuat si pemburu buaya.

"Melangkah pulang, berarti sama dengan melawan. Sudah lama aku tidak menguliti manusia hidup-hidup," ancam Sobo selepas melemparkan tombaknya.

Linggar berhenti melangkahkan kaki, tubuhnya benar-benar terasa kaku.

"Kemarilah."

Linggar berbalik arah lagi, kali ini menuju Sobo, ia menurut.

"Maafkan aku. Aku tak akan mengulanginya lagi," ulang Linggar ketika sudah dekat jaraknya dengan Sobo.

"Aku tak menyuruhmu untuk meminta maaf. Aku hanya memintamu untuk menemani perjalananku. Bagaiamana?"

"Maaf, bukannya aku menolak. Aku harus segera pulang, aku punya ibu dan bapak yang pasti akan panik jika aku tak kunjung di rumah."

"Baiklah, akan aku ubah pertanyaan sekaligus pernyataan tadi. Aku akan memaafkanmu, jika kau mau menemani perjalananku, jika kau menolak, tak akan ada maaf. Jika aku tak memaafkanmu, berarti kau harus siap bernasib sama dengan buaya itu," kata Sobo sembari menunjuk buaya buruannya yang sudah sekarat.

Masih sama seperti tadi, ekspresi Linggar masihlah ekspresi yang ketakutan. Tak bersuara, hanya saja dari tatapan matanya menjelaskan banyak hal, terutama tentang rasa takut.

"Bagaimana? Bersedia?"

"Ba .. ba .. baiklah."

"He-he-he. Aku mulai menyukaimu, kau benar-benar masih lugu dan polos. Siapa namamu?"

"Li .. Linggar."

"Baiklah Linggar, sebelum kita melanjutkan perjalanan, kuminta kau untuk mencabut tombakku yang menancap di pohon sebelahmu tadi," perintah Sobo.

Linggar sudah tidak memiliki alasan untuk tidak menurut. Didatanginya tombak yang menancap kokoh pada pohon berbatang besar. Namun, segera sadar ia bahwa tombak berwarna hijau gelap bening itu tak akan pernah bisa ia cabut, setelah beberapa kali mencobanya dengan begitu susah payah.

"He-he-he. Kau benar-benar masih lemah," kata Sobo sembari menghampiri tombaknya.

Entahlah rasa takutnya kini bertambah dengan rasa jengkel dan takjub, ketika mendapati Sobo dengan begitu mudahnya mencabut tombak hijau gelap jernih itu, dan hanya menggunakan satu tangan, seperti mencabut satu batang lidi yang menancap pada pasir.

Setelah perjanjian paksa kepada Linggar, keduanya melanjutkan perjalanan. Jangan dikira, dalam sekejap Linggar sudah bisa merasa nyaman dan menyesuaikan diri. Tidak, ia sama sekali belum tenang. Dalam gemuruh kalutnya, otaknya masih terus berayun-ayun untuk mencari ide bagaimana melarikan diri dari si pemburu buaya.

*Ibra Maulan Tigotsulatsi

Surabaya

____________________________________________________________________


Semoga berkenan menunggu lanjutan cerita ini

(Pesan ndak nyambung tapi penting :  Jangan Buang Sampah Sembarangan.)

LINGGARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang