Bab 3

147 9 7
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Ketakutan. Ya, itulah yang dirasakan Linggar ketika langkah kakinya mau tidak mau harus mengekor mengikuti langkah Sobo memasuki Hutan Hitam. Sepenasaran-penasarannya penduduk di desa Linggar, tidak akan pernah ada satu pun yang akan berani memasuki Hutan Hitam kecuali orang itu tak waras. Tak terkecuali dirinya. Namun kenyataannya, mau tidak mau ia harus masuk juga.

Cerita-cerita dari para tetua desa tentang betapa mengerikannya kehidupan di luar desa Linggar berada, turun-temurun senantiasa berhasil membuat para generasi penerus desa untuk kesulitan tidur setelah mendengar cerita itu.

Di dalam Hutan Hitam banyak terdapat mahkluk buas. Kata para tetua, yang paling mengerikan dari semua itu adalah dua jenis mahkluk. Mahkluk yang pertama, tenar di desa Linggar dengan sebutan Para Penunggang. Wujudnya seperti manusia, bisa menjadikan segala jenis binatang sebagai tunggangannya. Dan tak jarang tunggangannya itu adalah sosok binatang yang mengerikan, ada yang bertanduk, ada yang bercakar, bahkan berkaki empat tapi bukan kambing atau sapi, sangat menggemari darah dan daging manusia. Binatang-binatang bertaring, berkuku panjang, haus darah, hingga binatang-binatang jenis ular yang berukuran raksasa yang konon sangat banyak menghuni Hutan Hitam, bisa dengan mudah dikendalikan oleh Para Penunggang sebagai kendaraan juga sebagai alat pembunuh.

Di desa Linggar, hanya ada dua hewan berkaki empat, kambing dan sapi. Membayangkan hewan selain kambing dan sapi tapi berkaki empat terasa amat mengerikan bagi penduduk desa, termasuk dirinya.

Sementara mahkluk yang kedua terkenal dengan sebutan Pesenjata. Mahkluk-mahkluk bernama Pesenjata konon bisa menjadikan segala benda menjadi senjata yang teramat mematikan dan berbahaya. Mereka bisa mengubah sesuatu berbentuk serbuk menjadi api yang bisa membakar satu desa, mengubah tanah menjadi sebuah benda yang kokoh keras bahkan hingga bisa memecahkan batu. Mereka juga bisa membuat benda yang konon bernama panah, sebuah senjata yang bisa terbang dan akan membikin bagian tubuh mahkluk hidup yang terkena olehnya mengeluarkan darah atau juga mati seketika.

Mengigat hal-hal apa kata para tetua desa, ia mulai curiga kalau-kalau Sobo adalah salah satu dari penghuni Hutan Hitam. Tidak-tidak, Linggar bukan lagi curiga, tapi mulai meyakini perkiraannya bahwa Sobo adalah salah satu mahkluk penghuni Hutan Hitam. Hanya mahkluk penghuni Hutan Hitam sendiri yang berani masuk ke sana. Tiba-tiba saja ia merasa menjadi pemuda terbodoh sedunia, kenapa ia baru menyadari hal itu.

Dari postur badan hingga warna bola mata serta warna kulit Sobo yang sangat jauh berbeda dengan kebanyakan warga desa, tentu saja pemburu buaya itu bukanlah manusia. Bola matanya merah coklat kehitaman, kulitnya kuning putih, berhidung mancung, tinggi badannya di atas Linggar, padahal Linggar sudah termasuk bertinggi badan di atas rata-rata penduduk desa. Bisa jadi Sobo adalah orang tertinggi di seluruh desa jika ia menjadi warga desa. Lantas, jika pun sekarang aku tahu Sobo adalah penghuni Hutan Hitam, aku bisa apa? Begitulah gumamnya dalam hati.

Suara raung, kepak sayap, suara kerosak dan celoteh berbagai macam burung menggenapi keramaian dalam hening Hutan Hitam, mengiringi langkah kaki kedua pemuda itu masuk semakin dalam, semakin dalam ke pedalaman Hutan Hitam.

LINGGARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang