Bab 5

129 14 4
                                    


Linggar masih berdiri di tempat yang sama ketika Sobo meninggalkan mereka berdua. Sementara Sikung masih nampak serius mencabik-cabik hidangannya.

Pemuda itu benar-bena mati kutu.  Selain ia sedang ketakutan, ia juga bingung apa yang sebaiknya dilakukan selanjutnya. Bahkan untuk sekadar ingin duduk saja ia ragu-ragu apakah duduknya akan menimbulkan reaksi berlebihan, dari  teman lama Sobo yang bernama Sikung itu.

“Si .. si .. Sikung,” kata Linggar ragu-ragu, “bolehkah aku pipis?” akhirnya kalimat itulah yang ia pilih untuk diucapkan.  Dalam hati Linggar menyesal kenapa dari sekian banyak kalimat, justru kenapa kalimat ‘bolehkah aku pipis?’ yang ia pilih, kalimat yang sangat kekanak-kanakan. Seumur hidup, ia belum pernah membayangkan akan ada manusia yang memohon izin buang air kecil kepada mahkluk berkaki empat dan berbulu lebat, dan sangat bisa jadi ia adalah orang yang pertama kali melakukannya.

Sikung menghentikan kesibukannya mencabik-cabik buaya, ia beranjak menghampiri Linggar dengan mulut dan sebagian wajahnya yang masih berlumuran darah. Linggar mundur beberapa langkah, “jika kau tak menghendaki tak apa, kau tak harus menghampiriku lagi Teman,” kata Linggar, lengkap dengan ekspresi yang masih ketakutan.

Jarak satu tombak dari Linggar, Sikung berhenti lalu menggeram sembari kepalanya member isyarat supaya Liggar bejalan menuju ke arah yang ia tunjuk. Dan Linggar menurut saja.

Kucing besar ini memahami ucapanku?

Sejatinya ia tak benar-benar ingin buang air kecil. Buang air kecil hanyalah alasan baginya untuk terhindar dari kondisi yang serba kaku bersama si kucing besar.

Linggar berjalan menjauh dari Sikung, dalam benaknya mulai berpikir untuk melarikan diri. Meski ia tak tahu seberapa cerdas Sikung, namun ia cukup percaya diri bahwa Sikung masih bisa disiasati dengan mudah.

Ia berjalan semakin jauh, semakin jauh melewati pohon-pohon besar hingga tak dilihatnya Sikung dari kejauhan. Dadanya berdebar-debar mulai merasa bahagia bahwa ia bisa meloloskan diri.

Sayang angan-angan bahagianya tak berlangsung cukup lama setelah ia dapati si kucing besar berbulu hitam tiba-tiba sudah ada di depannya, berjarak sekitar dua puluh tombak. Sejak saat itu ia mulai sadar bahwa upayanya melarikan diri akan sangat berat dan butuh strategi yang benar-benar sangat matang.

***

Sudah empat hari menurut hitungan Linggar semenjak Sobo meninggalkannya di Hutan Hitam untuk hidup bersama  Sikung. Dan sepanjang empat hari pula yang dimakan Linggar adalah makanan-makanan yang senantiasa nyaris mentah dan memang benar-benar mentah, kelinci mentah, ayam hutan mentah dan ikan mentah. Hutan Hitam cukup lembab, membuat api dari ranting atau daun dari hutan bukanlah pekerjaan mudah. Tentu saja di manapun Linggar berada, senantiasa Sikung juga ada di sana dengan jarak belasan atau puluhan tombak mengawasi.

Buaya yang diburu Sobo tempo hari sudah habis disantap Sikung. Linggar diam-diam mengharapkan mahkluk yang ia anggap sebagai kucing raksasa itu berburu hewan buruan, dengan demikian perhatian Sikung pasti terpecah. Namun harapannya segera saja kandas setelah ia dapati kucing besar berbulu hitam itu memakan dedaunan di sekitar gua.

Kucing raksasa macam apa dia, memakan dedaunan layaknya kambing. Bahkan sepanjang hidupku tak pernah aku jumpai kucing di rumah memakan daun, Gumam Linggar dalam hati.

Linggar juga tidak bisa menampik kekagumannya pada si kucing besar. Begitu disiplin dan tak mau mengambil resiko memberi kesempatan Linggar untuk melarikan diri. Si kucing besar berbulu hitam lebih memilih memakan daun ketimbanng mengambil resiko lolosnya Linggar, sungguh luar biasa. Linggar tak habis pikir bagaimana cara Sobo mendidik Sikung. Bahkan kucing di rumah Linggar tidak secerdas itu, tidak sedisiplin itu.

LINGGARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang