Bagian Dua

19 1 0
                                    

Rasanya sulit untuk bersikap sewajarnya ketika mendapati seorang wanita paruh baya yang terus berdiri di hadapan seseorang yang berada di sebelah kananku. Pagi ini seperti biasa aku menaiki commuter line untuk bisa sampai ke sekolah. Namun rasanya kenyamananku sedikit berkurang ketika mata ini menangkap sosok wanita seusia mama berdiri dengan tegap serta menggantungkan tangannya pada pegangan yang berada diatas kepalanya. Melihat keadaan sekitar yang begitu apatis, dimana para penumpang nampak acuh meski dihadapan mereka tengah berdiri seseorang yang jelas-jelas lebih membutuhkan tempat duduk ini. Akhirnya aku berdiri dan mempersilakan wanita itu untuk duduk.

"Duduk bu." Ucapku sesopan mungkin, mempersilakannya untuk segera menduduki tempatku.

"Terima kasih ya nak." Balasnya dengan aksen jawa yang cukup kental.

"Sama-sama bu." Membalasnya disertai senyuman. Setelahnya aku berdiri tegak dengan menggantungkan sebelah tanganku pada pegangan yang sudah menggantung kokoh pada besi yang tertempel tepat diatas langit commuter line ini.

"Kerja dimana nak?"

"Disekolah swasta didaerah Grogol bu." Agaknya ibu ini sedang mengajakku untuk mengobrol. Lumayanlah daripada aku harus bosan berdiri untuk sampai di stasiun selanjutnya.

"Berarti turun distasiun Grogol? Tujuan kita sama toh." Jawabnya pelan. Ibu ini cukup ramah untuk seorang stranger yang baru kukenal.

"Iya bu. Memangnya ibu mau kemana?"

"Rumah sakit Royal Taruma."

"Ibu sakit? Kenapa pergi berobat sendiri?" Ya ampun, kenapa juga ibu ini pergi sendiri kerumah sakit. Aku yakin jika ia mempunyai anak, kenapa tidak meminta satu anaknya saja untuk menemaninya berobat. Kasihan sekali.

Ibu yang tidak ku ketahui namanya ini kembali menyunggingkan senyumnya sebentar sebelum akhirnya menjawab pertanyaanku, "saya hanya ingin menjenguk kerabat dirumah sakit itu." Ah jadi begitu, ternyata aku sudah salah duga.

"Kalau gitu hati-hati bu."

"Iya terima kasih nak. Ah ya ngomong-ngomong namanya siapa?"

"Myesha bu." Jawabku diakhiri dengan senyuman singkat nan manis.

"Namanya bagus. Nama ibu, Rahayu. Jadi panggil saja ibu Rahayu."

"Iya bu."

"Sebentar lagi kereta anda akan tiba di stasiun Grogol. Pastikan kartu dan barang bawaan anda tidak tertinggal didalam rangkaian kereta. Terima kasih."

"Bu, kita sudah hampir sampai di stasiun. Ibu bersiap-siap jangan sampai terlewat ke stasiun selanjutnya."

"Iya nak." Dengan segera kami, aku dan ibu itu berdiri sejajar bersiap untuk keluar dari commuter line.

Merasa ada yang memperhatikan, sontak wajahku menoleh pada orang tersebut. Kenapa si ibu stranger ini menatapku lekat-lekat seraya tersenyum tidak jelas? Apa penampilanku ada yang lucu atau aneh? Tapi rasanya aku berpakaian normal-normal saja seperti biasanya.

"Berapa umurmu nak?" Eh kenapa malah bertanya perihal umur? Ibu ini sebenarnya mau apa sih? Aku jadi curiga dengannya.

"24 tahun bu." Jawabku sesopan mungkin masih berjalan santai bersisian dengannya.

"Masih muda sekali, belum menikah 'kan?" Astaga! Perlu ya menanyakan hal seperti itu? jujur saja, akhir-akhir ini aku sedikit sensitive dengan pertanyaan ini. Bukannya apa-apa, beberapa temanku yang sudah berkeluarga selalu bertanya, 'kapan merried?', 'kapan booking prasmanan Sha?' dan aku hanya bisa menanggapinya dengan cengiran masam atau paling tidak dengan jawaban standard 'doain aja secepatnya'. Dan sekarang, tanpa kuduga seorang stranger pun tertarik untuk menanyakan hal semacam itu padaku. Apa wajahku memang terlihat jelas bahwa aku belum menikah.

RemorseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang