Bagian Empat

9 1 0
                                    

Aku tidak tahu harus menyebut situasi ini seperti apa? Selesai mengajar tadi, Irgi mewanti-wanti ku untuk menemuinya didepan ruang guru. Mendengar permintaannya yang sedikit aneh, tentu membuatku dirundu rasa penasaran. Setelah membereskan alat mengajar, kini kakiku sudah melangkah untuk keluar dari ruang guru sekedar memastikan apakah Irgi benar-benar sedang menungguku disana.

"Miss!"

"Ah Irgi?" Ternyata dia benar-benar menungguku.

"Miss pulang bareng Irgi ya?"

"Loh kenapa? Memang kamu gak dijemput supir?"

"Dijemput, tapi eyang minta Irgi buat pulang bawa miss he he." Eh kenapa anak ini tertawa aneh macam begitu, rasa-rasanya ada yang dia sembunyikan dariku.

"Tapi miss bawa kendaraan sendiri Gi? Memangnya ada apa? Tumben sekali eyang kamu minta miss datang ke rumah?"

"Masalah kendaraan sih gampang nanti diantar sama supir eyang. Yang jelas sekarang miss ikut Irgi pulang aja. Kayaknya eyang mau bicara sesuatu yang penting sama miss."

"S...serius Gi? Aduh gimana ya?" Sebenarnya apa yang mau dibicarakan oleh eyang Irgi? Apa tidak bisa menunggu hari sabtu atau minggu saja. Namun mendengar ucapan Irgi, sepertinya ada hal penting yang memang ingin ia bicarakan. Apa bu Rahayu akan complain karena aku tidak benar dalam menjadi guru untuk cucunya ini. Tapi sejauh ini aku tidak pernah mendapat complain dari orang tua murid perihal cara mengajarku.

"Miss....jangan melamun! Udah, ayo kita pulang."

"Eh tapi tunggu dulu, kendaraan miss ada di stasiun-" Dan semua usahaku dalam memberikan informasi pada Irgi sia-sia. Pasalnya bocah berusia 13 tahun ini sudah menarikku paksa menuju Yaris hitamnya.

Setelah mengabari mama perihal keterlambatan pulangku. Akhirnya aku harus rela mengikuti kemauan salah satu muridku ini. Menempuh perjalanan kurang lebih 20 menit, kini aku sudah menginjakkan kaki dirumah keluarga Atmaja.

Bersalaman sesaat dengan sang pemilik rumah, bu Rahayu mulai membawaku menuju ruang keluarganya. Disini aku hanya mampu tersenyum canggung karena perlakuan bu Rahayu yang selalu menempel padaku bak lintah. Ia bahkan tidak berhenti untuk tersenyum dan memegang lenganku dengan lembut. Melihat caranya memperlakukanku seperti ini, rasanya ia tidak akan memberikan sebuah complain seperti yang telah kupikirkan selama diperjalanan tadi.

"Irgi bilang, ibu ingin bertemu dengan saya. Jika saya boleh tahu, ada a-"

"Iya nak Myesha. Ibu ingin meminta bantuan nak Myesha, boleh?" Bu Rahayu segera menyela ucapanku sebelum aku sempat menyelesaikannya.

"Bantuan? Tentu bu, jika saya bisa membantu kenapa tidak."

"Bagus!!" Aku hanya mampu mengerjapkan mata berulang kali kala mendengar jawaban dari mulut bu Rahayu yang terlampau bersemangat.

"Begini nak, ibu mau meminta bantuanmu untuk memberikan les bahasa Inggris untuk Irgi. Tidak usah setiap hari, tapi kalau bisa seminggu empat kali nak Myesha kesini untuk mengajar. Bagaimana?"

"Empat kali ya bu? Hem boleh, bagaimana kalau hari rabu, kamis, jumat, dan sabtu saja?" Mendengar permintaan dari wali murid, tentu aku harus bisa menerimanya. Apalagi hal ini berdampak positif bagi muridku sendiri.

"Oke nak, ibu setuju. Jadi...bagaimana jika les nya dimulai dari hari ini?"

"H...hari ini?"

"Tidak ada les untuk Irgi atau apapun itu! Irgi sudah mendapatkan tempat les untuknya dan ibu...berhenti untuk berbuat hal konyol lagi." Suara berat sarat akan ketidak sukaan tiba-tiba terdengar dikedua telingaku. Mata ini sontak menatap pada objek yang baru saja berjalan memasuki rumah. Sosok pria tinggi tegap dengan balutan kemeja dan celana bahan hitamnya mulai memasang focus pada wajahku. Demi Tuhan, melihat tatapan tajamnya sanggup membuatku menciut seketika.

RemorseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang