BAB II

2.5K 338 76
                                    

"Jadi, Bu Anna sekarang gimana kabarnya? Baik kan?" Tanya Deira sambil menatap pria yang sedang menundukan wajahnya itu.

"Entah, aku juga bingung," Jawaban pria tersebut membuat mata Deira membulat.

Pasalnya Bu Anna adalah nenek pria itu, namun pria itu tidak mengetahui kabar neneknya sendiri.

"Sekarang keluarga lagi berusaha buat nyari dia, tapi tetep ga ada hasil." Lanjut pria tersebut.

"Nyari? Maksudnya?" Tanya Deira dengan wajah yang sangat meyakinkan.

"Nama kamu siapa?" Pria itu mencoba mengalihkan pembicaraan.

Deira mungkin sedikit mengerti kenapa dan ada apa, gadis itu juga tidak ingin mengetahui lebih lanjut karena itu lebih menjorok kepada masalah keluarga.

"Aku, Deira." Gadis itu menjawabnya.

"Namanya bagus." Kata pria tersebut.

"Kamu?" Tanya Deira.

"Aku, Aidan Adnan, panggil aja Aidan, sayang juga boleh." Jawabnya sambil menunjukan senyumnya yang manis.

Gadis itu memutar bola matanya, sungguh, laki-laki aneh.

"Aneh, namanya gacasing ditelinga, padahal kita baru kenal " Kata Deira.

"Hem." Jawaban yang singkat.

"Apa kita gaakan dimarahin dan? Kalo kita dihukum lagi gimana? Harusnya kan kita ga kabur." Tanya gadis itu dengan wajah yang terlihat khawatir.

"Santai." Singkat, padat dan jelas.

Aidan, seperti tidak ada beban dipikirannya dan ketakutan didalam hatinya atau dia hanya menyembunyikan?

Deira segera turun dari meja yang sedari tadi ia duduki, pertama kalinya dia duduk diatas meja, gadis itu memang anak yang tergolong baik sejak sekolah dasar.

"Eh, kamu mau kemana? Langkah Deira menuju pintu terhenti seketika.

"Lapangan."

Pria itu pun turun dari meja yang berada didepan meja yang tadi diduduki oleh Deira, "Yaudah, ayo."

Mereka pun keluar dari dalam gudang sekolah yang tak terkunci itu.

Sepi, itu yang mereka rasakan, mereka belum melihat siswa siswi yang berlalu lalang di lorong sekolah ataupun di kantin sekalipun.

"Eh jangan." Suara itu keluar dari mulut Aidan secara refleks sembari memegang pergelangan tangan Deira.

Suasana tegang mulai mereka rasakan, melihat anggota OSIS dan panitia MOS lainnya terlihat sedang diberi pengarahan oleh salah satu guru.

Namun, mereka menyadarinya, itu bukan sekedar pengarahan, suara guru tersebut terdengar keras ditelinga.

"KALIAN ITU SEHARUSNYA LEBIH TEGAS KEPADA MURID-MURID YANG BARU! JANGAN SAMPAI ADA YANG KABUR KAYA GINI, KALIAN DIAJARIN TATA TERTIB GA? ENGGA ADA YANG BISA SEENAKNYA, KALIAN JUGA, KENAPA GAADA YANG MENCEGAH MEREKA, UDAH DICARIIN?GAADA KAN." Suara yang terngiang-ngiang dikepala.

Deira memalingkan wajahnya ke arah Aidan, senyum diwajahnya luntur, ia mulai ketakutan.

"Tuh kan, panitia di marahin didepan semua siswa, pasti gara-gara kita." Kata Deira.

"Santai." Ucapan yang sangat mudah keluar dari mulut laki-laki ini.

Tangan Aidan dengan cepat memegang pergelangan tangan Deira, gadis itu tidak peduli, yang ia pikirkan sekarang hanyalah ketakutannya yaitu, ditambah hukuman tambahan, ia tidak mau menambah masalah di sekolah barunya ini.

Langkah pria itu dengan cepat kearah lapangan sambil memegang pergelangan tangan Deira.

"Aidan!" Ucapan gadis itu tidak didengar oleh Aidan.

"Maaf bu." Sontak semua murid yang melihat kejadian itu bertanya-tanya.

Seorang pria berseragam SMA baru saja muncul bersama seorang perempuan disampingnya dan tiba-tiba berjalan kearah lapangan untuk bertemu seorang guru, tanpa izin atau aba-aba terlebih dahulu.

"Tadi saya nganterin dia kekantin buat beli roti sama minum, kasian dia, lagi perempuan."

"Lagi perempuan? Hem, saya mengerti." Guru berkacamata itu menatap Aidan, iya, dia mengenalnya.

"Oh jadi kamu, kenapa tadi ga izin?" Tanya guru tersebut membuat Aidan berfikir keras untuk menjawabnya.

Gadis itu, hanya diam, keringat dingin yang mulai gadis itu rasakan, ia sangat ketakutan dengan apa yang terjadi.

"Tadi, sebelum saya debat sama murid ibu yang suka ngatur itu, Deira minta anter saya buat beli sesuatu dikantin, tapi karena ada sesi hukum-menghukum, saya nunda buat anter Deira. Pas murid ibu itu ngajak debat, saya males kan, yaudah saya kekantin buat nganter Deira." Jawaban yang cukup panjang.

"Tadi, Sintia cari kamu dikantin, gaada." Aidan berfikir lagi untuk menjawabnya.

"Saya makan didalem kantin, bukan di luar kantinnya." Jawaban yang sedikit masuk akal bagi Bu Sumi.

"Yaudah, kamu saya maafin, lain kali, kamu harus izin, gabisa seenaknya kaya tadi." Kata Ibu Sumi sembari tersenyum kearah Aidan, pria itu pun membalas senyuman gurunya itu.

Aidan pinter, tapi jangan diikutin, bohong itu gaboleh. -Deira

Kalau bohong demi kebaikan? -Aidan

...

Selasa, 5 Mei 1998

Aidan terus melirik ke arah jam berwarna hitam yang berada ditangannya itu, menunjukan pukul 06.01, pagi sekali memang, namun semua itu ia lakukan untuk menunggu seseorang, iya dia adalah Deira.

"Aidan." Sapa seseorang dari belakang.

Aidan memalingkan wajahnya, terkejut memang mengetahui siapa yang berada dibelakangnya, orang yang sangat keras kepala, mengatur semua jadwal kehidupan Aidan.

"Ngapain kesini?" Tanya Aidan.

"Ayah mau liat sekolah ini, udah lama ga kesini." Jawab pria yang tak lain adalah ayah tiri Aidan.

Memang sulit berkata ayah kepada orang ini, mulut seakan terkunci saat ingin menyebutnya ayah.

Memang terlambat, kita selalu terlambat, menginginkan orang yang sudah tidak ada lagi didunia mungkin bagi beberapa orang adalah hal yang sia-sia, ingin rasanya kembali kemasa lalu, mengubah semuanya. Baru saja menyadari, bahwa dia sangat berharga, ingin berada lagi dipelukannya, seperti waktu itu, masih bisa merasakan kasih sayang yang dia beri.
Walaupun kita tidak pernah menghargai kasih sayangnya, ia tetap tersenyum, memang sakit, tapi mencoba menyembunyikan rasa sakit itu, dengan apalagi selain tersenyum?
Dan pada akhirnya kita menyadari, bahwa kita merindukannya.

Iya, begitu pun dengan Aidan, rasanya sudah lumayan lama berpisah dengan ayah kandungnya, dikehidupan ini.

Namun, sosok ayah itu muncul kembali, dengan raga dan sifat yang sangat berbeda.

"Jadi, kamu masih belum bisa menerima?" Tanya pria tersebut.

"Hem." Jawab Aidan sambil tersenyun miring kepadanya.

"Kamu harus coba menerima keadaan, engga egois kaya gini." Ucapan pria itu diikuti dengan langkah kakinya yang berjalan ke parkiran yang berada didalam SMA tersebut.

...

Holaa, jangan lupa vote sama comment nyaa yaaa, butuh bgt saran supaya dibacaa nya enak gt wkwk💘

Btw, vomment kalian berharga banget.

1998Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang