"Halo Mbak Prue..." sapa seorang petugas kebersihan saat Prue melangkahkan kaki menuju ruangannya di Sacramento. Prue mengangguk sambil memberikan senyum cerah ceria ramahnya. Hari masih pagi dan Sacramento baru mulai buka pada pukul 10.00, which is tiga jam lagi. Tidak biasanya Prue datang sepagi ini namun ia merasa mati gaya jika berlama-lama diam di rumah kecilnya yang terletak di kawasan Rawa Mangun. Sendirian. Itu sebenarnya penyebab mengapa Prue jarang sekali berada di rumah dan memilih menghabiskan sebagian besar waktunya di Sacramento. Di sini ia memiliki sahabat, teman, sekaligus tamu-tamu pengunjung cafe yang membuat hidupnya menjadi lebih bersemangat dan merasa diperhatikan oleh para pegawai yang merangkap sebagai teman-teman terdekatnya di kota metropolitan ini.
Prue merupakan anak kedua dari lima bersaudara. Semua keluarganya tinggal di Bandung kecuali kakak laki-lakinya yang kini menetap bersama istrinya di India. Mereka berdua adalah pasangan dokter bedah yang mendedikasikan hidupnya demi merawat pasien-pasien tidak mampu yang membutuhkan pertolongan mereka di salah satu rumah sakit di India. Dan Prue memilih mandiri di kota ini, sendiri pada awalnya namun akhirnya ia bertemu dengan Marco saat laki-laki itu tak sengaja melakukan pertemuan bisnis dengan kliennya di Sacramento, dua tahun lalu.
Prue segera meletakkan tote bag-nya di atas meja dan tiba-tiba saja aura cafe ini mengingatkannya akan sesuatu. Ah... Bukan. Bukan sesuatu tapi... seseorang. Seseorang yang datang kemarin sore ke cafe ini, memanggil pelayan dengan raut wajah sebal. Seseorang yang membuat Prue mendatangi mejanya dan menawarkan lighter ketika ia mengetahui apa yang sedang pria itu cari di dalam tas dan kantong pakaiannya. Sebuah lighter yang mengantarkan Prue pada obrolan singkat dengan pria itu yang mau tak mau membuat dirinya merasa aneh oleh kelakuannya sendiri.
Namanya Dion.
Prue mengingat lagi. Bagaimana wajah pria itu, rahangnya yang tegas. Kulitnya berwarna sawo matang seakan terbakar matahari, sorot matanya yang tajam, dua alis tebal yang menaungi matanya, hidungnya yang mancung, gayanya saat ia menghisap rokoknya dalam-dalam, dan senyumannya. Sungguh senyumannyalah yang membuat Prue tak henti memikirkan Dion. Sejak kemarin, sampai saat ini. Hatinya mengatakan bahwa ini adalah perbuatan salah. Tak seharusnya calon pengantin seperti dia masih memikirkan laki-laki lain mengingat kurang dari dua minggu lagi ia sudah menjadi istri dari Marco. Hati kecilnya yang lain mengatakan bahwa tidak masalah siapa yang dipikirkan oleh Prue sekarang, toh Prue juga tak memiliki perasaan apapun terhadap pria itu. Bahkan Prue baru mengenalnya kemarin! Oh Astaga! Apa yang diharapkan dari sebuah pertemuan kurang dari lima belas menit sih?!
Prue menggeleng-gelengkan kepalanya cepat. Mungkin ini adalah sindrom pra-nikah, dimana ada ketakutan tersendiri bagi calon pengantin bahwa dia meragukan cintanya sendiri kepada pasangannya. Ya, mungkin saja itu benar.
***
Seseorang menggedor-gedor kamarnya, membuat sosok yang masih asyik tidur itu mau tak mau membuka mata. Sial! Kenapa sih tidurnya harus diganggu sepagi ini?!! Ia mencoba tidak peduli, kembali menutup matanya dan semakin merekatkan diri pada kasur di bawahnya. Suara gedoran itu tak kunjung berhenti malah bertambah gaduh dan mengganggu. Habis sudah kesabarannya!
Dengan setengah emosi sosok itu terhuyung-huyung menggapai kenop pintu kamarnya dan membukanya.
"Mau apa lo?!" tanyanya jutek plus matanya melotot tajam pada bocah kecil di hadapannya. Bocah tersebut nyengir kuda.
"Elah Mas, jangan jutek-jutek dong. Tuh udah ditunggu Mama sarapan!" Bocah kecil yang memakai seragam putih-biru itu langsung ngeloyor pergi membuat pria yang disapa 'Mas' itu mengumpat kesal. Apa semua orang di rumah ini nggak tahu kalau gue baru tidur jam empat subuh tadi hah?!
"Ma... Ngapain nyuruh si krucil satu ini sih buat bangunin? Berisik banget Ma..." ujar pria itu sambil mendudukkan diri di kursi makan dan menunjuk bocah pengganggu tadi dengan ujung telunjuknya. Seorang wanita paruh baya berusia sekitar 50-an itu tersenyum.

KAMU SEDANG MEMBACA
Silent Lover
RomanceKhusus untuk kamu. Sang pecinta diam-diam. Aku dan kamu sama saja. Saling menyimpan suara dalam satu kotak rapuh bernama hati. Mengerti sepenuhnya bahwa aku sulit kau jangkau, dan dirimu tak akan pernah bisa kuraih. Aku dan kamu hanya sama-sama meni...