Chapter 1

458 17 3
                                    

Apa lagi sih yang Prue inginkan dalam hidup ini?

Prue Jasmine Rahadian. Perempuan mapan berusia 27 tahun, pemilik Sacramento Cafe and Library, berwajah campuran antara Kanada, Indonesia, dan China, berambut cokelat perunggu, berkulit putih, tinggi semampai, dan yang jelas (ini yang paling penting!) tunangannya sekarang ialah Marco Hegaz. Siapa yang tidak kenal lelaki tampan berdarah Spanyol itu? Hampir semua orang di negara ini mengetahui keberadaannya sebagai salah seorang putra pengusaha nomor satu Indonesia yang menjalankan usahanya di bidang properti dan perumahan elite sekaligus pewaris tunggal atas seluruh kekayaan yang keluarganya miliki.  

Prue menikmati harinya sebagai pemilik Sacramento. Dia memang bukan perempuan yang pandai memasak ataupun meracik minuman. Dia seorang pecinta buku dan ingin membuat masyarakat juga mencintai buku sama seperti dirinya dengan dibangunnya Sacramento ini. Berbagai koleksi buku dari mulai buku sejarah, politik, budaya, ekonomi, bahkan buku dongeng anak, novel, maupun komik dapat ditemukan di ruangan seluas enambelas meter persegi di bagian belakang Sacramento. Sangat luas dan memang seperti perpustakaan, bedanya para pengunjung dibebaskan untuk membaca buku di tempat sambil dapat menikmati secangkir latte atau sepotong croissant hangat.  

Prue membebaskan semua pelanggannya, tak mengekang mereka dengan aturan bahwa tidak boleh meminjam buku, tidak boleh makan di perpustakaan, tidak boleh berisik, dia membangun perpustakaannya dengan aturannya sendiri dan Sacramento tak pernah sepi pengunjung. Dari mulai pelajar SD, SMP, SMA, mahasiswa, pekerja kantoran, bahkan ibu rumah tangga turut serta meramaikan Sacramento milik Prue dan Prue sangat bahagia melihat banyaknya pengunjung yang mampir ke kafe-nya dan menikmati lembar demi lembar buku yang mereka pilih sendiri. Ia bahagia melihat sekelompok anak muda yang tengah berdiskusi di sudut sedang sibuk melakukan bedah buku mini dengan kelompok kecilnya, melihat ibu muda yang sedang membacakan cerita Putri Salju untuk anaknya, atau beberapa pasangan muda yang masing-masing tenggelam dalam lautan kata-kata di tangannya. Ah.. melihat mereka Prue jadi sedikit iri. Andai ia juga dapat melakukan hal seperti itu bersama Marco, pasti dia bahagia sekali.

Sebagai seorang CEO di salah satu anak perusahaan besar yang dimiliki ayahnya, waktu Marco untuk bersantai sekedar menikmati kopi atau teh saja sangat sulit. Hidupnya bergerak ritmis, cenderung monoton. Menghadiri satu meeting di tempat A, kemudian pindah ke meeting lain di tempat B, lalu pindah ke meeting di C, D, E, dan seterusnya, waktunya habis untuk bekerja dan jarang ia bisa habiskan dengan berduaan saja dengan Prue. Untungnya Prue bukan wanita lemah yang apa-apanya harus ditemani oleh Marco. Prue adalah seorang yang mandiri, yang bahkan tanpa Marco pun sebenarnya dia merasa baik-baik saja.  

*** 

Pernikahannya dengan Marco hanya tinggal menghitung hari. Namun selama kurang lebih enam bulan ia menyiapkan pernikahan pertamanya tersebut, hanya beberapa kali Marco bersedia menyempatkan waktunya untuk memilihkan Prue gaun pengantin yang cantik dan melakukan beberapa kali fitting jas pernikahannya. Untuk urusan selain dari itu, selebihnya hanya Prue yang mengaturnya. Aku percaya padamu Prue, kata Marco kala itu.  

Prue berlari lincah dalam lingkaran persiapan pernikahannya. Dari mulai memesan katering, memilih undangan dan souvenir, menentukan tema pernikahan, menyewa wedding organizer yang berkelas, menentukan tempat resepsi, semua Prue yang mengaturnya. Terkadang, sempat ia berpikir dalam hatinya, apakah ia sedang merencanakan pernikahan sendiri? Pernikahan yang hanya terdapat satu mempelai yang berdiri di depan pendeta. Namun sesegera mungkin ia menepis pemikirannya tersebut. Menjalani hubungan dengan Marco, inilah konsekuensi yang harus diterimanya.  

Guratan kemerahan mulai muncul perlahan-lahan dari ufuk barat. Menjadikannya pertanda halus akan datangnya sebuah gulita. Prue meninggalkan mejanya yang terletak di sebelah dapur Sacramento dan menutup jendela di sebelahnya, menghalau angin senja yang sering membuatnya kedinginan. Ia menutup lamunannya dan kaki jenjangnya melangkah memasuki kafe yang semakin ramai oleh pengunjung. Matanya yang berwarna cokelat muda berkelana ke segala arah, menikmati pemandangan yang setiap sore terjadi di kafenya. Menjadikannya sebuah memori yang mengisi ruang dalam otaknya yang masih kosong. Memori mengenai Sacramento, karena ia tidak yakin jika ia telah menjadi Nyonya Hegaz kelak, apakah ia masih bisa menjalani hari-harinya seperti biasa.  

Silent LoverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang