Bab 1 - Mencintai Dalam Luka

12.6K 537 4
                                    

Zellia Varos, wanita blasteran Rusia dan Indonesia, gadis bertubuh mungil, mata bulat, hidung mancung, serta bibir tipis yang ia miliki selalu mampu membuat Pria terkagum- kagum menatapnya.

Jam setengah tujuh pagi Zia sudah rapi mengenakan pakaian kerjanya. Zia tidak pernah berhenti berdecak kagum memandangi penampilannya di depan cermin oval yang berukuran cukup besar. 'Sempurna' kata itulah yang terus terlontar setiap pagi saat Zia melihat dirinya dari pantulan kaca. Apalagi kini ia sangat tidak sabaran untuk segera ke kantor, bukan gara-gara ingin memamerkan kecantikan yang diberikan oleh Tuhan untuknya, namun Zia tidak sabaran untuk menemui pria yang ia cintai.

Zia melangkahkan kaki jenjangnya ke dalam gedung bertingkat, banyak orang yang tersenyum ke arahnya dan Zia pasti akan membalas balik pula dengan tersenyum hangat. Di depan pintu lift Zia masih menunggu dengan jemari lentiknya terus bermain di atas layar gadget dengan lincah.

"Hm," deheman seseorang mampu membuat Zia tersadar dari dunianya.

Zia mendongakkan wajah dan bertatapan langsung dengan wajah pria yang ia cintai.

"Mau masuk gak?" tanya pria itu datar dengan jari telunjuknya masih setia memencet suatu tombol. Zia seakan tersadar dengan cepat melangkahkan kaki masuk ke dalam lift.

"Pagi Davas?” sapa Zia lembut memamerkan senyuman paling cantik yang ia punya, namun hal itu tidak membuat pria yang berdiri di sampingnya itu tertarik.

"Sudah sarapan?" tanya Zia basa - basi namun tidak ada balasan sama sekali dari pria bernama Davas itu. "Jangan suka menggoda pria yang sudah beristri," ucap pria ini ketus setelah pintu lift terbuka.

Zia terdiam, selalu kata-kata pedas yang terlontar dari bibir pria itu, namun apalah daya pria itu berkata benar. Zia melangkah kakinya dengan lesu, hatinya hancur. Mencintai pria yang jelas-jelas sudah beristri memang hal yang salah, namun bukan perasaan tidak bisa dicegah.

"Zia, lu kenapa pagi-pagi udah cemberut aja," ucap Keyla sambil memegang bahu Zia pelan.

Zia hanya tersenyum memamerkan lesung pipinya yang cukup dalam terletak di sebelah kanan. "Davas lagi?" tebak Keyla dengan nada tidak bersahabat.

Lagi - lagi Zia tidak menjawab melainkan hanya mengumbar senyuman yang selalu mampu menutupi kepedihan yang ia alami.

"Lu ngapain sih suka sama bos gila kayak dia. Masih banyak cowok tajir yang mau sama lu Zi. Jangan nyakitin diri lu sendiri, gue aja udah bosan liat lemahnya lu Zia, lu harus kuat," ucap Keyla tegas dan kembali ke meja kerjanya.

"Zia?” panggil seorang wanita dengan pakaian super ketat menghampiri Zia dengan senyum mengembang. "Ada apa?" tanya Zia lalu menegakkan tubuhnya dari posisi duduk.

"Lu dicari bos disuruh menghadap, gak tau deh kenapa, gue cuma nyampein pesan doang Zia, kalau gitu gue duluan ya, masih banyak kerjaan,” ucap wanita itu, dan setelah itu berlalu dari hadapan Zia yang kini tengah meletakkan tangannya di depan dada.

Tok tok "Masuk," sahut suara bariton dari dalam ruangan, dengan sesegera Zia melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruangan.

"Ada apa Pak?" tanya Zia to the point dengan mata birunya menatap lekat sosok laki - laki yang wajahnya seperti titisan Dewa Yunani.

"Kamu temani saya besok ke Palembang selama 4 hari," ucap laki-laki itu tanpa melirik Zia sedikit pun.

"Ngapain Pak?" tanya Zia namun langsung mendapat pelototan tajam dari laki-laki bermata sama seperti Zia.

"Kamu mau saya pecat!" ucap laki-laki itu tajam dan berdiri dari duduknya, membuat Zia semakin menciut.

"Maaf Davas," ucap Zia pelan, membuat Davas tersenyum sinis ke arah Zia dengan tatapan yang sulit diartikan.

***

Akhirnya Zia sudah berada di Palembang satu jam yang lalu.

Mau tidak mau, suka tidak suka, apapun yang terjadi kalau Bos Davas yang memerintah tidak ada yang bisa membantah.

Hal yang aneh, Davas memiliki sekretaris namun lebih memilih mengajak Zia dalam pertemuan bisnisnya. Wajar saja Davas lebih memilih Zia, karena Zia yang paling ahli dalam bagian ini, Davas termasuk pekerja yang profesional.

“Saya berikan kamu satu jam istirahat setelah itu kita baru bertemu klien, paham?” ucap Davas dingin dengan ekspresi datarnya.

“Paham pak,” jawab Zia dengan kepala tertunduk. Davas yang mengerti langsung melangkahkan kakinya menuju kamar 204 yang berada tepat di samping kamar Zia yang bernomor 203.

Entah punya keberanian dari mana, Zia bergerak memeluk tubuh Davas. Hening. Zia sempat merasakan tubuh pria yang ia cintai ini menegang lalu di beberapa detik kemudian Davas menepis tangan Zia dengan kasar, membuat lubang yang semakin dalam di hati Zia. Wanita yang tulus mencintainya dengan begitu bodoh. Davas berbalik dan menatap tajam Zia yang tengah menunduk.

"Harus berapa kali saya bilang sama kamu, jangan suka menggoda laki–laki yang sudah beristri,” ucap Davas kasar dengan tatapan dingin mematikan yang ia punya. Zia yang merasa tidak tahan mendongakkan wajahnya dan menatap sedih Pria di hadapannya yang hanya menampilkan ekspresi datar.

“Tapi aku mencintaimu,” ucap Zia pelan dengan air mata yang menggenang di pelupuk mata.

Bukannya menjawab, Davas membalikkan tubuhnya dan meletakkan sebuah kartu di depan sebuah alat persegi panjang lalu pintu terbuka dan meninggalkan Zia begitu saja.

“Aku mencintaimu,” ucap Zia sebelum berbalik dan masuk ke dalam kamarnya.

Satu jam, waktu yang terlalu singkat. Apa yang bisa dilakukan dalam 3600 detik itu, bahkan untuk memejamkan mata saja rasanya sangat sayang, nanggung.

Zia sudah rapi dengan baju kerja yang ngepas pada tubuhnya, membuat lekuk tubuhnya terlihat dengan jelas. Ketika Zia membuka pintu, ternyata Davas juga baru keluar dari kamarnya dengan pakaian yang sama rapi dengan pakaian yang dikenakan Zia. Zia menutup pintu, lalu menatap Davas dengan pandangan kagum menatap Anugerah Tuhan yang sesempurna ini.

“Kamu sangat tampan Davas,” ucap Zia tanpa berniat mengalihkan pandangannya.

“Tidak perlu memuji,” balas Davas ketus, dan lagi-lagi Davas menorehkan luka dalam di hati Zia, Zia hanya mampu tersenyum kecut menanggapi nasibnya.

Setelah pekerjaan bisnis mereka selesai dengan salah satu klien berjalan lancar. Zia bisa kembali menyunggingkan senyumannya.

“Pak bagaimana kalau kita makan dulu?” saran Zia memecahkan keheningan di antara mereka. Davas hanya diam, mengabaikan keberadaan Zia, dan lagi–lagi Zia hanya bisa menelan pahit yang namanya cinta.

“Turun!” perintah Davas dingin, Zia mendongakkan wajah dan menatap bingung tempat kini mereka berada.

“Kita ngapain di sini Pak?” tanya Zia setelah jalan beriringan dengan Davas yang hanya memasang wajah datarnya. Merasa tidak akan mendapatkan jawaban, Zia lebih memilih diam dan menundukkan kepala, lebih baik daripada melihat wajah datar Davas saat ini.

Bruk

"Ahhh!” pekik Zia nyaring, tubuhnya hampir saja melayang kalau tidak dengan cepat dua lengan kekar yang memeluk pinggangnya dengan erat. Zia membatu melihat wajah pria di hadapannya dan sebaliknya, pria itu juga menatap Zia tanpa berkedip sama sekali.

“Hm,” deheman Davas mampu membuat Zia tersadar dan dengan segera menegakkan tubuhnya serta menepis halus tangan pria di hadapannya kini.

“Maaf,” ucap Zia pelan dan langsung menarik tangan Davas tanpa peduli apa yang akan Davas lakukan nanti padanya, yang terpenting dia harus segera menjauh dari pria itu

Bersambung..


Good Bye, My Love Terbit Di Hi NovelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang