1

26.3K 1.6K 19
                                    

"Nama Julia sama sekali bukan berkah." Julia bersedekap, tubuhnya mengendur ke belakang hingga bersandar pada kursi besi merah khas sebuah restoran cepat saji tersebut. Dia memandang Arin, sahabatnya. Di depannya, Arin tidak berkomentar, mulutnya malahan sibuk mengunyah kentang goreng yang berwarna pucat akibat belum cukup waktunya untuk diangkat dari penggorengan.

"Demi apa coba Papa ngasih nama Julia after Juliette, karakter perempuan paling bodoh menurutku dalam kisah cinta yang diagung-agungkan hampir seluruh manusia di dunia itu. Jadinya kehidupan cintaku pun akhirnya sama bodohnya." Sembur Julia dengan posisi yang belum berubah. Kedua alis mata Arin naik serentak, matanya setengah melotot memandang Julia, tapi kemudian dia terkekeh pelan.

"Jadi kamu dikasih nama Julia dari cerita Shakespeareitu? Kukirain karena orangtuamu suka dengan Julia Roberts," gumam Arin tanpa berpikir panjang.

"Julia Roberts kan baru terkenal tahun 90-an, Rin!" seru Julia gemas. Kali ini kekehan Arin semakin keras menyadari kebodohannya. Dia menepuk pelan jidatnya.

Julia akhirnya tersenyum meski rasa kesal dalam hatinya belum sepenuhnya hilang. Ya, ini masih mengenai nama dan berkah yang –katanya– akan menyertai nama itu. Namun, bagi Julia, ini seperti bencana, mungkin gambarannya tidak setragis kisah cinta Romeo dan Juliette milik Shakespeare, tapi inti dari kisah itu, kegagalannya, Juliette tak akan pernah bersatu dengan Romeo kecuali di alam baka. Coba bayangkan betapa mengerikannya. Berpikir seperti itu saja sudah terasa seperti kutukan.

"Dan Oma semakin menambah penderitaanku," keluh Julia.

"Oma kamu? Kenapa?"

"Ya gitulah kayak kamu nggak tahu aja." Julia menyambar kola di meja kemudian menyesapnya. Kepalanya bergerak ke arah dinding kaca yang membatasi dirinya dengan pemandangan di luar sana. Masih pukul empat, tetapi matahari sudah menghilang entah kemana karena tertutup awan kelabu yang berarak rendah. Sebentar lagi hujan. Manusia di luar menikmati sore tanpa terik bersantai di duduk barisan bangku beton sepanjang sisi plaza. Di salah satu sudut segerombolan sahabat mengobrol dan tertawa, dan di sudut lain ada pasangan yang duduk begitu rapat tanpa kata dengan kedua mata menatap lurus ke depan serta gerak tubuh terkesan rikuh dan malu. Mereka pasti sedang melakukan pendekatan atau semacam itu, pikir Julia. Dia tersenyum sendiri. Julia kangen masa itu. Masa dirinya seperti gadis bercelana jins dan berkaus merah muda yang sedang malu-malu di bawah sana.

Dia menarik napas berat ada rasa rindu sekaligus perih yang tiba tiba menyentak dinding hatinya. Apa yang kamu rasakan di usia 27..ne..e..hampir 28 tahun, dengan kondisi tidak punya pacar, tidak punya pekerjaan tetap, dan punya satu oma yang hobi berceramah hampir setiap hari sehingga membuat kepala kamu nyut-nyutan dan mata berkunang-kunang. Dunia terasa semakin sempit bagi Julia setiap kali Oma menerornya dengan kata PERNIKAHAN.

Karena itu Julia memutuskan untuk meninggalkan Jakarta dan kembali ke Yogyakarta. Dia mengikuti saran Papa untuk melanjutkan ke Magister Teknik Arsitektur Digital di Yogyakarta, di kampus almamaternya. Apa kata Oma kala mendengar kabar ini? Aduh...sekolah apa lagi sih? Umur kamu sekarang itu pantasnya nikah bukan sekolah! Nggak bosan apa sekolah terus? Putus dari Dani di usiamu sekarang adalah keputusan paling bodoh!

Julia menghela napas kemudian meletakkan kembali gelas kola ke meja.

"Ah!" Arin tiba tiba berseru sambil menepuk pelan meja di depannya. "Aku lupa bilang..." Arin menahan sebentar kata katanya. Tangannya meraih tisu dan membersihkan bekas minyak dan remah kentang goring di tangannya. "Milan ada di Yogya."

Kali ini kelopak mata Julia membesar kaget.

"Ini aneh bukan?" Arin memicingkan matanya memandang Julia. "Hei! Jangan bengong. Kenapa? Nervous tahu Milan ada di Yogya?" Arin menepuk punggung tangan Julia yang seperti terpaku di atas meja.

"Nervous? Ngapain?" serunya cepat berusaha menyangkal padahal sebenarnya dia sungguh gugup mengetahui mungkin saja dia akan bertemu Milan di kota ini. Julia cepat-cepat menyedot minumannya, dia berusaha lari dari tatapan Arin karena dia enggan menelusuri lagi masa lalu itu.

"Dulu kamu kan kejam banget menolak cinta Milan."

Julia cemberut. Tidak mudah ternyata menghindari pembicaraan ini.

"Rin, itu hakku menolak cintanya." Julia membela diri. Tangannya menggenggam gelas kertas yang sudah kosong di hadapannya dengan kekuatan penuh. Mendadak otaknya kram, persis orang sakit jantung yang terkena serangan kedua. Baru saja berlalu sisa perih yang terpendam di hatinya akibat kata-kata Oma dan sekarang Arin membawa kabar yang bakal membuat Julia harus ekstra hati-hati agar perasaannya tidak terbawa kembali ke masa beberapa tahun lalu. Lebih tepatnya ke perasaan kesal dan sesal.

Kesal? Ya! Karena Julia merasa sangat bersalah dan tentu saja dia kesal pada dirinya sendiri. Delapan tahun memang waktu yang cukup untuk mengubur kejadian itu, tetapi selentingan kabar ini jadi membangkitkan kembali rasa bersalah dan sesal.

"Benar itu hakmu. Cuma caramu menolak Milan, itu yang kejam." balas Arin tak mau kalah dan dari nadanya Julia merasa Arin sedang menuduhnya.

"Kamu bisa bilang aku kejam tapi apa kamu nggak berpikir dari posisiku, situasi itu juga kejam buatku." Julia berteori dengan wajah masih disetel cemberut seperti tadi.

"Kejadian kantin." Arin memandang Julia lurus. Matanya sedikit menyipit memberi kesan bahwa tak mungkin Julia tak ingat kejadian itu.

Julia menelan ludah. Kejadian kantin. Ya, itu istilah semua sahabatnya menggambarkan kejamnya cara Julia menolak Milan. Julia menampar Milan di depan banyak orang, termasuk Dani. Bahkan Arin–sahabatnya dari jurusan Komunikasi yang kampusnya sejauh dua kali naik angkot pun– mendengar tentang kejadian itu. Rasanya saat itu seisi warga universitas tak ada yang tak tahu tentang kisah mahasiswa Arsitek tingkat akhir yang ditampar cewek di kantin.

"Dia ngapain di Yogya?" Julia penasaran. Arin tersenyum.

"Menurut Dito, Milan punya proyek di Yogya. Udah lebih dari enam bulan dia di sini." Mata Julia berputar pelan sambil berusaha mencerna kabar dari Arin. Dito? Si cowok kemayu anak Manajemen yang sekarang memiliki butik di Plaza Ambarrukmo? Julia akan percaya sejuta persen bila kabar itu bersumber dari si pria centil itu. Dito dulu adalah salah satu groupies d'Arch, band yang digawangi Milan dan salah satu orang yang pernah mencibiri Julia gara-gara kejadian kantin itu.

"Aku pernah ketemu Milan setahun yang lalu sewaktu eyang putrinya meninggal. Dan dia sempat nanyain....." Arin menggerakkan dagunya ke arah Julia.

"Aku? Oh, ya? Kok kamu baru bilang sekarang?" Julia menyangsikan pendengarannya, sekaligus menyangsikan kejujuran Arin. Apa benar Milan bertanya tentang dirinya.

"Idih...bukannya situ yang sama sekali nggak mau tau kabar dari dia." Arin mencibir.

"Uhmmm..." Julia ragu untuk membalas kata-kata Arin. "...itu kan masa lalu." sambungnya lagi dengan agak berbisik. Dia lekas mengubah fokusnya ke kentang goreng di hadapannya.

"Masa lalu? Hmmm...terus gimana kalau kamu ketemu Milan lagi?"

Julia berdehem. Arin terkikik kecil.

"Kamu tahu nggak, Li? Setahun yang lalu, pas ketemu, Milan jauh beda dengan delapan tahun yang lalu. Dia semakin menarik, nggak kucel tipikal anak band kayak dulu. Kalu dilihat-lihat dia mirip Tom Price di acara masak DIVA itu loh khususnya Alisnya yang tebel dan kelopak matanya yang dalam kayak punya Josh Hartnett itu pernah kamu puji seksi. Iya kan? Ngaku." Goda Arin

Julia mencibir saat otaknya dalam hitungan detik menghadirkan gambaran Tom yang dimaksud Arin. Apa benar Milan yang dulu berantakan itu sekarang mirip si seksi di Hot Guys Who Cook itu? Namun dia lekas menggeleng karena menyangsikan kemiripan keduanya. Tapi kalau tentang mata elang Milan, Julia mengakuinya.

"Masak sih...? Nggak percaya." Julia berkata sangsi.

"Oke,memang nggak persis mirip cuma they gave off the same vibe." Arin keukeuh dan coba melancarkan aksi ngomong Inggrisnya. Julia kembali mencibirkemudian terkikik kecil.

DESTINARE   [Bisa Baca sampai Tamat di Akun Saya di Dreame]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang