1# MENIKMATI

49 1 0
                                    

RAIN

Aku mematut diri dicermin. Dengan mengenakan kemeja satin berwarna tosca, rok pencil selutut, juga sepatu berhak tujuh senti tak lupa riasan natural, aku siap mengawali hari ini.

Derap langkah terdengar menuju kamar, aku berbalik kearah pintu.
"Neng cepetan atuh" Mas Indra memperingatkan, dia tampak sudah siap tapi beberapa bagian kemejanya sudah agak kusut karena Gonza menarik-narik kancing kemeja papanya.

"Nak, mama sama papa nyari duit dulu ya, jangan nakal sama bu Titi nanti mama usahain pulannya gak telat" aku mengusap kepala botak Gonza dengan sayang.

Mas Indra kemudian mencium Gonza dan menyerahkan pada mbak Titi. Aku selalu terharu saat melihat Gonza yang terlihat santai saat ditinggal, anak itu memang mandiri dan selalu tak pernah menyusahkan. Kata mas Indra hampir sebagian sifatnya mengikutiku padahal saat hamil aku mengira dia titisan papanya. Mengingat betapa susahnya menjalani masa kehamilan super berat karena mual muntah berlebihan juga emosi yang naik dan turun seenaknya.

Jalanan Jakarta seperti
hari-hari kemarin padat dan bising, masih hangat euforia pilgub kemarin yang membuat sekujur tubuh merinding disco.

Jakarta dengan segala ceritanya..

"Neng katanya ada putaran duanya ya?" tanya mas Indra kepo. Memang Sih akhir-akhir ini dia terlalu sibuk hingga jarang menonton tv.

Aku menggangguk "Yep..Milih mana lagi nih mas?" tanyaku sambil mencari siaran radio pagi.

"Mas milihnya bukan karena agama atau apapun embel embel gak penting lainnya, tapi lebih ke pemimpin yang memberi bukti bukan janji. Liat kan pak Jefri dia gak pandai bermanis-manis tapi coba apa yang kamu rasain sekarang neng? kamu jadi bisa bekerja profesional kan karena ketegasan beliau?

"Jadi?"

"Ya masih nanya lagi, sekarang mas nanya sama neng ya, waktu kita ngurus akte kelahiran si adek cepet banget kan? ada pungli apa gak?" aku menggeleng.

" Nah itu tanda adanya reformasi birokrasi neng jadi pilihan mas masih tetep yang lama, biar beliau nuntasin dulu lah, lihat nanti lagi kalau ada yang lebih baik lima tahun kedepan kenapa gak?"

Aku menggangguk.

"Biarpun kita serumah kalau kamu mau milih paslon lain juga gak apa, semua punya hak milih. Kamu gak harus ngikutin suami, kamu punya hak untuk nentuin pilihan kamu, ya seenggaknya sesuai hanura gitu" mas Indra beretorika.

"Hanura?" apa itu? Aku makin gak ngerti.

"Hati nurani neng sayang" mas Indra menoel pipiku, aku mendengus.
Mas Indra memang smart, ngomong apa saja sama dia bakal nyambung, dari masalah di bumi sampai di angkasa dia bakal tau!

Aku jadi kagum sama suamiku, pantesan banyak yang suka sama dia.
Cakep iya, pinter iya, mapan iya ..Ck kok bisa ya aku yang dipilih?

"Sampai deh" ucapnya sambil mengerling genit kearahku. Gak kerasa mobil udah berhenti tepat didepan gedung kantor.
Aku membuka seatbelt dan mengambil tas dari jok belakang.

"Mas gak bisa jemput, bentar meeting di Aston. Neng gak apa ya pulang sendiri?" ucap mas Indra sembari menggenggam tanganku. Aku tersenyum tanda mengerti.

***

Hari yang ribet menurutku. Setelah menelpon mbak Titi menanyakan keadaan Gonza aku melanjutkan pekerjaanku yang sudah menumpuk, semua ini terjadi karena aplikasi keuangan terbaru hasil cetusan ide suamiku yang perfectionis itu. Sebeeel!!
Kerjaanku makin tambah berat, emang gak bisa apa nanya aku dulu?! Seenggaknya
aku bisa ngasih masukan.

SELEMBUT HATI RAIN (Sequel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang