BAGIAN 1
______________________________________
Lagi-lagi serupa. Aroma tembok dingin membuat kuduk anak lelaki itu meremang. Dus-dus berisi perlengkapan bongkar-pasang bertebaran di seluruh penjuru ruangan. Kaus kaki bau, kemeja bernoda jeli, atau mantel apek bisa ditemukan hampir disetiap permukaan. Berbagai macam kerajinan kayu teronggok begitu saja dimana-mana. Gorden katun dekil memberi celah pada sinar matahari untuk sekedar memperbaiki harapan yang seakan terbang--seperti debu yang berdifusi di dalamnya.Bagaimana pun tempat usang ini membawa separuh memori manisnya, yang kini kian terungkap bahwa sebenarnya kenangan itu hanya kain beludru penutup radio butut.
Keadaan yang sama setiap kali dia menapaki tempat ini kerap kali membuatnya berharap hal kecil seperti melempar tas sepulang sekolah dapat memperbaiki batinnya.Tapi pada dasarnya dia tidak paham dengan siapa sebenarnya dia bermain. Ego?
Dia belum mau bersuara meski sudah melangkah lebih jauh. Benda yang berserakan dilantai lazim menjadi karpet merah penyambut kepulangannya. Namun ada yang lain yang dia pijak. Bukan benda rongsokan atau pakaian kotor, melainkan secarik kertas putih bersih yang kini agak lecek karena terinjak.
Diraihnya kertas itu yang membuat dahinya ikut-ikutan lecek. Ada lambang bundar di pojok kiri kertas, di atas kop surat yang menunjukkan huruf-huruf kapital yang terlihat formal namun bermakna sadis menurutnya. Seketika hatinya teremas.
Ternyata hari itu datang lebih cepat dari perkiraanya. Walau pun tidak ada bedanya, mau cepat atau lambat yang jelas hal ini membuatnya semakin membenci takdir. Walau dari hasil kerja kerasnya dia sudah tahu akan berakhir seperti ini.
Anak itu melempar kertas dengan asal sebelum menghempaskan diri ke atas sofa tua yang memuntahkan debu ketika diduduki. Normal bagi seorang manusia untuk batuk setelahnya. Disandarkannya kepala berat itu sembari menutup mata.
"Norman?"
Sang empu nama hanya membuka sebelah matanya mengarah ke atas tangga sebelum terpejam lagi. Ternyata batuk barusan mengundang suara bariton itu menggema. Namun tidak ada gunanya menyahut panggilan formalitas.
"Norman kau sudah pulang?"
Semakin jelas, tidak hanya berat, namun dalam suara itu terlebur serak samar-samar. Dan lagi, anak bernama Norman itu tidak menggubrisnya. Dia berusaha untuk tidak mengeluarkan suara. Karena bila dia melakukannya, lepas sudah kendali dalam dirinya.
"Hei, nak."
Pria itu terhenti di belokan tangga. Kaus lusuhnya terbalut Kemeja yang tak terkancing, serta jeans biru dekil yang menjadi pelapis imortal tubuh kekar itu. Rambut pirangnya semrawut karena terlalu banyak tersengat ide-ide gila. Jelas sulit membedakan antara serpihan kayu dan ketombe yang bertaburan bak bintang di atas kepalanya itu.
"Bagaimana sekolahmu? Mau dad buatkan susu kocok? Pisang, atau stoberi?"
Rick melewati Norman yang masih menutup matanya menuju dapur. Tangan penuh noda arang pensil menarik gagang kulkas. Kemudian yang dia lakukan adalah menggeleng.
"Kita tidak punya susu, atau pisang. Bagaimana jika jus jeruk saja?" tanyanya pada Norman yang malah membuatnya seperti bertanya pada tembok. Pikir Norman, biar saja dia bicara sendiri. Sejauh apa kejanggalan tingkahnya untuk membuat suasana meleleh.
Rick membuka kabinet kayu. Deritan engselnya sama menyedihkannya dengan isi kabinet itu. Hanya 2 butir permen butterfinger, beberapa keping koin cokelat, plus laba-laba yang sedang asyik merajut jaringnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Ain't Got No Greatest Life
General FictionKejadian hari itu, dan kejadian hari ini bukanlah perkara mudah bagi keluarga Bedingfield. Ketika semuanya merasa telah berkontribusi untuk memperbaiki keretakan itu, akhirnya pondasi itu runtuh juga. Sebagai satu-satunya yang masih berharap banyak...