1. Disinilah bermula

124 19 0
                                    

"Aku mendengar bahwa siswi yang bersekolah disinih cantik-cantik. Dan dapat menggugah gairah." Hemin memulai pembicaraan dengan topik yang sungguh membuatku mual.
"Entah... Aku tidak tahu." Aku menjawab santai.
Kami terus menelusuri koridor sekolah yang sebenarnya bukan sekolah kami. Warna hijau mendominasi dinding-dinding yang sejak tadi kami lewati. Lantainya berkilau. Bersih. Suasana sangat sunyi. Aku pun bingung. 'kemana penghuni sekolah ini? tiadakah yang menunjukan tanda-tanda keberadaannya?'

Pertanyaan itu terus mengiang-ngiang di kepalaku ini sejak saat aku mulai menapakkan kakiku di tanah halaman sekolah ini. Perasaan ini sedang kompak dengan pikiran ini. Perasaan ku sungguh tidak enak dirasa. Entah kenapa.

Langkah kaki kecil dengan high heels yang... Eemmm... Cukup tinggi... 15 cm... Semakin banyak meninggalkan jejaknya. Detik yang ini terus bergulir dengan detik yang itu. Aku bosan. Hemin terus mengoceh tiada henti. Dan topik pembicaraannya... Memang sudah berganti... Tetapi... Masih sama. Membosankan. Amat.

"Apa mulutmu itu hanya bisa mengeluarkan kata-kata yang sungguh tiada makna?" Setelah tingkat kesabaranku menunjukan titik puncak, aku akhirnya dapat mengeluarkan kata-kata yang kurasa dapat masuk kedalam hati yang terdalam dengan cepat.
"Begitu? Baiklah aku diam saja." Hemin menjawab sangat datar.
'Apakah Hemin marah padaku? Setelah mendengar kata-kata yang begitu saja terucap lewat bibir ini?'
"Hemin..?" Aku mencoba membujuknya.
"Em." Hemin menjawab santai, dengan tangan yang sejak tadi dimasukan ke saku celananya.
"Maaf." Aku takkan bertele-tele untuk meminta maaf. Langsung saja kuucapkan begitu.
Tak ada tanda-tanda Hemin akan menanggapi. Langkah kaki kecilku inipun sontak terhenti.
Syhuuuuttt..
Suara kaki Hemin yang di rem pun merambat dengan cepatnya menuju telingaku.
"Kenapa? Apa ada masalah?" Hemin benar-benar orang yang sangat peka.
"Iya." Kurasa jawaban singkatku cukup jelas.
"Apa? Em... Makdudku apa masalah yang menghentikan langkahmu itu?" Hemin teryanta tak terlalu peka.
"Em?" Saat itu aku benar-benar tidak fokus.
"Apakah itu dikarenakan heelsmu itu tidak nyaman. Jadi kau berhenti dengan maksud melepaskannya?" Hemin bertanya dengan penuh dugaan.
'Heels? Ini sama sekali tak ada hubungannya, Hemin.'
"Em... Bukan sama sekali. Bahkan tak menyinggungnya sedikitpun." Aku mencoba menjelaskan secara tak langsung.
"Lalu apa?" kurasa Hemin benar-benar binggung.
Ok... Akan kujelaskan Hemin.
"Kau marah?" Aku langsung to the point.
"Kepada siapa?" Hemin bertanya kembali.
Huh... Aku harus sabar. Kenapa tak paham jua. Memangnya ada siapa lagi disini Hemin. Hanya kita berdua. Peristiwa tadi. Apa kau tak sadar.
"Kepada diriku." Aku sudah menjelaskan dengan sangat jelas. Kalau kau tidak mengerti jua... Itu artinya... Huft... Sabar... Yan tsu... Kau harus sabar.
"Kenapa marah?" dia bertanya kembali. Tetapi kali ini diselingi oleh tawa kecil. Yang membuat keadaannya menjadi terbalik. Diriku ini penuh dengan bingung.
"Apa?" Aku bertanya dengan maksud memintanya mengulang kembali. Atau mungkin kalau dia mau, dia dapat menjelaskannya dengan lebih rinci. Atau setidaknya membuat aku tidak bingung.
"Kenapa aku harus marah? kau ini kan gadisku. Untuk apa aku marah?" Hemin mengatakannya dengan cepat. Walaupun seperti itu, aku tetap paham. Tetapi aku tak sebodoh itu ya...
"Saat aku mengatakan..."
"Oh..." Hemin menutup mulutnya dengan tangannya. Mungkin sebagian orang akan mengatakan bahwa Hemin cute saat melakukan itu. Tetapi... Wait.... What?? Aku baru sadar '...gadisku....' apa maksudnya. Sungguh ambigu.
"Kau pikir aku akan marah saat kau mengatakan.. Aigo... It's imposible ok? Aku tak mungkin marah. Aku diam. Ya... Karena kurasa aku memang terlalu berlebihan." Hemin melanjutkannya.
"Oh." aku menanggapi dengan sangat singkat. Aku meneruskan langkah.

SKIZOFRENIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang