Maha termenung, sereal yang disiapkan sebagai menu sarapannya cuma di aduk-aduknya. Ia teringat akan kejadian yang membuatnya menghindari Deva
#flashback
"Apalagi yang kurang dengan Melati? Dia wanita yang baik, keturunannya jelas, apalagi dia telaten mengurusi ibu. Tiap siang tidak pernah absen mengunjungi ibu dengan membawa makanan. Bahkan dia tidak segan membantu ibu mengerjakan pekerjaan rumah. Ibu fikir dia calon istri dan ibu yang baik untuk anakmu kelak" nasihat ibunya Deva terdengar jelas di telinganya Maha yang kebetulan lewat ruangan Deva untuk memfotokopy berkas.
"Ibu.. Tapi aku gak tertarik sama Melati, aku menganggap dia sudah seperti sahabat sejak kecil"
"Kamu mau bilang kalau kamu lebih tertarik sama gadis pecicilan itu? Dia bukan gadis yang sesuai buatmu! Lihat saja tingkahnya, terlalu banyak bicara masih senang bermain-main. Bagaimana dia bisa menjadi seorang istri yang baik? Sedikit pun tidak terlihat bisa mengurus kerjaan rumah tangga. Ibu tak bisa membayangkan bagaimana nanti kalau dia sudah punya suami apalagi anak, duuh membuat ibu pusing saja" - "Ikutilah keinginan ayahmu kali ini saja, menikah segera sebelum kau menyesal! Kamu dengar sendiri kan dokter bilang berapa lama lagi usia ayahmu, witing tresno jalaran soko kulino" tambah ibu menceramahi Deva.
#End of Flashback
Maha menghela nafas.
(Bahagia atau tidak adalah pilihan, pilihanmu dari awal sudah salah karena keegoisan mu yang tidak mau mengalah untuk kami. Kau telah membangunkan macan tidur Melati) gumam Maha.
Ditinggalkannya mangkuk sereal itu lalu Maha bergegas pergi ke kampus. Di ruang kelas tampak Maha tak bisa sedikitpun menyerap materi kuliahnya.
(Fokus.. Fokuslah ! aku mohon!! ) Maha membetulkan posisi duduknya dan dengan serius mengikuti kuliahnya sampai akhir.
Deras hujan menghentikan langkah kaki Maha menelurusi trotoar, ia berdiri di depan toko kecil menunggu hujan reda, sayup-sayup terdengar lagu Jujur Aku Tak Sanggupnya Pasto. Kembali Maha mengenang Deva..
#flash back
Maha termenung di depan mesin fotocopy, tiba-tiba Deva datang dan menyeret tangannya.
"Hei.. Apa ini.. Apa yang kau lakukan??" Bisik Maha. Deva tetap menyeret Maha ke atas loteng gedung kantornya tanpa bicara. Tiba di loteng Maha mencoba melepaskan tangannya
"kau sudah gila? Apa yang salah dengan otakmu?? Karyawan lain bisa menganggapmu aneh!" Bentak Maha. Bukannya melepaskan tangan Maha Deva malah menarik tangan Maha dan memeluk Maha, kemudian mencium Maha penuh emosi. Maha mendorong Deva sekuat tenaga lalu menamparnya.
"Kau sudah tidak waras! Jaga sikapmu!" Suara Maha lantang.
"Kali ini.. Tolong tanggapi dengan serius, aku ingin kau mewarnai hidup ku, menikahlah denganku" pinta Deva sambil mengambil cincin dari saku celananya.
"aku tak bisa menikah sebelum selesai kuliah, impianku sangat banyak, aku serakah.. Keinginanku setinggi langit" jawab Maha masih dengan perasaan syoknya.
"aku tak kan menghalangi langkahmu menuju impianmu. Kau tak harus memiliki anak sebelum kau siap, tumbuhlah dewasa seperti yang kau inginkan. Jangan jadikan pernikahan sebagai penghalang impianmu, aku akan selalu mendukungmu!" Deva mengambil kelingking Maha untuk membentuk janji jari kelingking atau pinky swear dengannya. Maha melepaskan tangannya..
"pertama karena aku sendiri tidak yakin dengan perasaanku padamu tapi setelah kupikir-pikir lagi.. Kau juga terlalu tua untuk kujadikan suami, jadi kau bukan tipeku, tolong jangan memaksaku. Dan jangan membas masalah ini lagi, semoga jawabanku kali ini cukup membuatmu puas".

KAMU SEDANG MEMBACA
Mahadeva 1
Short Story( Seharusnya aku tak usah berpura-pura tegar dan Seharusnya aku tak pernah datang ke kota ini Untuk melihatnya duduk di pelaminan bersama orang lain )