Kejamnya Kucing Garong Tak Sekejam Manusia

506 71 1
                                    

Untuk kucing berusia beberapa minggu kami bertiga tidak terbiasa membiarkan imajinasi menguasai diri kami. Apakah mungkin Emak dikarungi lalu dibuang oleh manusia? Ataukah Emak dihajar anjing pembenci kucing? Atau mungkin Emak ditabrak mobil? Mungkinkah Emak meninggalkan kami karena kami nakal dan menyusahkan? Bersama dengan lapar, lelah dan ngeri merambat perlahan dari perut hingga ke kepala ketika ide-ide itu berhamburan di antara kerjap mata kami yang memandang satu sama lain dalam kegelapan malam. Untuk pertama kalinya dalam hidup singkat kami, Kuning, Hitam dan aku berdoa tanpa henti malam itu, berharap seiring datangnya matahari Tuhan mengizinkan Emak kembali pada kami. Dalam kesunyian sebelum matahari terbit akhirnya satu persatu kami tertidur.

Deru mobil penghuni rumah di ujung jalanan depan rumah Pak Kumis membangunkan kami, seiring dengan matahari yang merangkak naik.

"Emak..." bisik kami bersamaan sembari menatap penuh harapan pada jalan beraspal di depan rumah.

Pintu depan rumah Pak Kumis berderit membuka dan laki-laki dengan kumis melintang itu melangkah keluar. Setelah mengunci pintu ia berjalan melintasi halaman menuju tong sampah tak jauh dari tempat persembunyian kami. Sebuah ransel hitam tersandang di pundak dan tangan kirinya menenteng kantung kresek berwarna hitam. Kami menunduk dalam semak dan rumput, berusaha sebisa mungkin agar Pak Kumis tak menyadari keberadaan kami. Begitu tiba di depan tempat sampah, Pak Kumis melempar kantung yang kemudian berderak menghantam lantai semen tong sampah. Setelahnya ia berjalan menuju pintu pagar, menggeser pagar besi dengan derit yang memekakkan telinga. Ia bergegas keluar, mengunci pagar dan melangkah menyusuri jalan.

Setelah beberapa saat dalam hening panjang, aku menegakkan kuping berusaha mendengarkan suara-suara di sekitarku. Setelah yakin tak ada suara apapun aku melangkah keluar dari rerumputan.

"Mau kemana lo?" terdengar suara Kuning dari belakangku.

"Mau ke tong sampah. Gue penasaran kantung itu isinya apa."

"Kita nggak bisa ngelompati tembok tong sampah, Abu. Tinggi tau!" sahut Kuning lagi.

"Kata Emak depan tong sampah itu nggak ada temboknya, kita tinggal keluar dari pagar dan memutarinya untuk masuk dari depan."

"Bahaya Abu. Emak bilang kita nggak boleh keluar pagar," kali ini Hitam yang memperingatkanku.

Aku berbalik dan menatap kedua saudaraku, "Emak nggak ada di sini dan gue lapar. Gue bosan menggigit rumput dari kemarin. Kalo lo berdua pingin nyamil rumput seharian, silahkan aja tapi gue mau cari sesuatu yang bisa dimakan di tong sampah itu."

Lalu setelahnya aku melangkah keluar dari rerumputan dan melompati celah pagar. Ada got kecil di depan pagar, aku melompat turun lalu berusaha memanjat keluar dari got. Tidak susah karena got itu tak terlalu tinggi. Dengan berhati-hati aku melangkah disepanjang pinggiran got hingga ke tepi tembok pembatas tempat sampah. Setelah memandang berkeliling dan memastikan keadaan sekitarku tak membahayakan aku melangkah ke jalanan dan menuju depan tempat sampah.

Aku berdiri dengan hidung mengendus dan menyadari ada aroma makanan dari tempat sampah di hadapanku. Setengah berlari aku masuk ke tong sampah dan menuju kantung hitam. Bau itu semakin menyengat. Aku mengoyak kantung dengan gigiku. Perlu usaha keras karena kantung itu cukup kuat. Dengan putus asa aku mendongak ke arah tembok dan memanggil kedua saudaraku.

"Ada makanan. Aromanya lezat. Cepat ke sini bantu gue mengoyak kantung ini."

Tak butuh waktu lama untuk kedua saudaraku untuk tiba di tempat sampah. Dengan kerjasama yang baik, beberapa saat kemudian kantung terkoyak dan kami berusaha menarik apapun benda yang tersumpal di dalamnya. Plastik. Gulungan kertas. Lebih banyak plastik. Botol entah apa. Dan gumpalan kertas pembungkus berwarna cokelat yang menguarkan aroma makanan. Bertiga kami menarik keluar gumpalan kertas itu. Sebongkah tulang menyempil keluar dan kami menariknya bersamaan. Setelah seharian tak makan tulang yang dibalut sejumput daging terasa luar biasa.

KunBulKoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang