Setelah terpisah selama sehari semalam, akhirnya kami bertiga berkumpul lagi. Malam itu Kuning dan Hitam mendengarkan petualanganku dengan terkesima, sesekali keduanya mengamati perutku yang membulat penuh oleh ikan rebus dan susu yang dijejalkan oleh Na. Terkadang Hitam mengendus mulutku dengan mata lapar, sedangkan Kuning tetap ditempatnya hanya terpaku menatap perutku. Mereka lapar dan aku kekenyangan, itulah kenyataannya.
"Maaf, gue nggak bawa pulang makanan buat kalian," kataku seraya menjatuhkan tubuhku di rerumputan, bukan karena aku ingin bersantai tapi lebih karena tak ingin kedua saudaraku terus mengamati perutku.
Kuning menghela nafas, "Nggak apa-apa, bukan salah lo kok. Yang penting kita ngumpul lagi kan."
Hitam mendengus, "Lo becanda? Gue udah berapa hari nggak makan. Lo lihat yang tersisa dari gue sekarang cuma mata besar ini doang, Kuning. Ini bukan karena gue sok galak ya, tapi karena gue kurang makan."
Kuning memelototi Hitam, "Bukan berarti itu salah Abu-Abu. Lo kan yang mau mencakar si Ghadi waktu dia kesini kemarin itu. Yang gak galak cuman dia," tunjuk Kuning padaku, "Jadi berhenti mengendus mulut Abu-Abu. Makanan di perutnya nggak akan melompat keluar dari mulutnya sekalipun lo endus sampai pagi."
Hitam menjatuhkan tubuhnya di rumput, menggigitinya lebih karena kesal daripada ingin mengunyah tumbuhan itu.
Aku mengangkat kepalaku dan teringat ucapan Na, "Eh... tapi Na bilang kita boleh datang ke rumahnya kalau kita mau. Na punya banyak makanan. Nggak ada kucing lain tinggal di rumah itu. Besok kita ke sana. Ok?"
"Oookeeee, sekali."
*****
Begitulah. Malam merangkak menuju pagi sementara kami bertiga meringkuk bersama lagi di halaman berumput yang beratapkan langit. Aku menguap dengan wajah melesak di perut kurus Kuning yang sesekali berkeriuk. Ia jelas kelaparan, tapi alih-alih mengeluh seperti yang dilakukan Hitam, ia memilih memendamnya seorang diri.
Perut kurus itu kembali bergemuruh dan Kuning memejamkan matanya menahan rengekan yang mungkin akan membangunkan Hitam. Saat itu ingin rasanya aku menghibahkan perut gendutku yang kekenyangan ini pada Kuning. Aku menengadahkan wajah menatap langit, sambil bertanya-tanya bagaimana mungkin kehidupan kami bisa memburuk demikian cepat dalam usia semuda ini. Karena tenggelam akan kesengsaraan, aku nyaris tak merasakan air yang tercurah perlahan dari langit.
"Lari... Serangan dari langit!"teriak Kuning, ia bangkit berdiri berdiri lalu terhuyung-huyung melintasi halaman menuju beranda rumah Pak Kumis.
Aku bangkit tergesa dan menginjak kepala Hitam yang segera melompat berputar tak tentu arah.
"Kesini!" teriak Kuning.
Aku dan Hitam berlari. Kami bertiga berdiri berdesakan di beranda, basah kuyup . Seolah-olah kesengsaraan kami belum cukup, petir menyambar dan kami menjerit histeris.
"Itu apa?" Aku hampir tak mengenali suaraku sendiri.
Hitam mendekat dan menjilat kupingku, "Nggak tau. Tapi itu bahaya. Kita harus terus sama-sama."
Kuning menggigil dan suara bergetar ketika ia membuka mulutnya, " Sekarang rumah rumput kita juga sudah hancur. Kita mau tinggal di mana?"
Tempias air menerpa hingga ke beranda dan kami meringkuk bersama menahan dingin. Keadaan ini tidak baik dan kami tidak menyukainya, tapi kami tidak tahu apa yang harus kami lakukan.
*****
Pintu rumah terbuka dan terdengar langkah berkeletak di ubin. Aku menguap dan menyadari hari telah pagi. Tapi ada sesuatu yang tidak beres. Selain kenyataan bahwa kami dinaungi atap beranda, kami jelas basah kuyup. Air menggenang nyaris mencapai ubin dan udara dingin menusuk hingga ke tulang. Dan rasa tak nyaman itu makin kentara.
KAMU SEDANG MEMBACA
KunBulKoy
AdventureKisah tiga kucing jalanan yang ditinggal mati ibunya. Kisah tiga calon kucing garong yang gagal total. Kisah tiga jantan di timur Jakarta.