Seorang perempuan separuh baya bertumpu pada pagar rumah seraya memandang tajam ke arah kami. Perempuan itu bertubuh kurus dengan rambut yang disanggul di puncak kepala dan daster sederhana yang melekat di tubuhnya.
"Jangan menyiksa kucing-kucing itu," ujar perempuan itu dengan dagu mengedik ke arah kami yang berada di genggaman tangan anak-anak manusia.
"Kami nggak menyiksa, ini kan lagi ngajakin main," kilah si plontos seraya menyembunyikan aku ke dalam saku celana pendeknya.
Menyadari tempat penyumpalan tubuhku yang sempit menyiksa, aku menjerit sekuat tenaga.
"Emakk.... Maakkk!!"
"Hei... kamu apain kucing itu. Lepas! Itu sakit tau nggak!!" teriak perempuan kurus itu dengan suara panik.
"Tante rese banget deh, kucing ini nggak ada yang punya. Ngapain juga Tante yang rempong!" sahut si plontos seraya menekan kepalaku yang mencoba keluar dari celah saku.
Belum sempat perempuan itu menjawab terdengar suara kendaraan bermotor datang mendekat dan berhenti di depan rumah.
Terdengar suara seorang laki-laki, "Ada apa nih Ma, kok rame-rame?"
Perempuan itu menghela nafas sebekum menjawab, ""Ini loh Pa, anak-anak ini nyiksa anak kucing. Ditarik-tarik, trus itu sekarang si Marco ngumpetin anak kucingnya ke saku celana. Bisa mati loh, Pa."
"Marco, keluarkan anak kucingnya," terdengar suara laki-laki itu.
"Nggak ada, Om."
Pada saat itu tangan si plontos yang ternyata bernama Marco mencengkeram kepalaku demikian keras sehingga aku menjerit ketakutan ketika rasa sakit dan gelap itu datang. Dan....
"Aaahhh... kucingnya kencing!!" teriak Marco seraya menarik tubuhku dan menjatuhkannya dengan keras ke jalan.
"Maakkk!!"
Tubuhku terhempas menghantam aspal hitam. Sejenak aku terdiam memandang waspada pada kaki-kaki manusia di sekitarku. Lalu begitu kesadaranku datang, aku melesat tunggang langgang menuju tempat sampah rumah Pak Kumis. Dengan tubuh gemetaran dan air seni yang menetes aku meringkuk di sudut tong sampah.
Tak berapa lama Kuning dan Hitam yang ternyata juga telah dilepaskan memasuki tong sampah dengan tersaruk-saruk. Bertiga kami meringkuk seraya menjerit kencang, sementara terdengar langkah-langkah berderap menjauhke ujung gang.
"Jahaattt!!"
"Dasar botak penyiksa!!"
"Tukang pukul!!"
"Emakkk!!"
"Takut, Mak!! Pulang, Maakkk!!"
Tak berapa lama terdengar pintu pagar dibuka dan suara langkah kaki datang mendekat. Walaupun jelas laki-laki bermotor itu telah menolong kami, rasa takut luar biasa menghantam tanpa ampun begitu laki-laki dan perempuan itu berdiri dengan kepala tertunduk menatap kami.
"Induknya kemana ya, Ma?"
"Nggak tau!"
"Kasian Ma, bawa pulang aja yuk buat teman mainnya Sandra."
"Aku geli, Pa, sama kucing. Apalagi sama anak kucing. Mirip tikus."
"Ya udah, trus ini gimana?"
"Ntar juga induknya datang. Udah yang penting mereka nggak digangguin Marco dan teman-temannya."
Tak berapa lama laki-laki dan perempuan itu berbalik dan kembali ke rumah mereka.
*****
Dua hari berlalu dengan mengerikan dan rasa lapar ini semakin tak tertahankan. Yang semakin menambah penderitaan kami adalah hujan turun beberapa kali, membuat kami tersaruk-saruk bersembunyi di sudut teras Pak Kumis di siang hari. Akan tetapi bila Pak Kumis berada di rumah, kami memilih kembali ke tong sampah atau bersembunyi diantara rerumputan. Ketakutan luar biasa akibat perjumpaan terakhir kami dengan manusia membuat kami sepakat untuk menjauhi mahluk dengan dua kaki itu. Dan ancaman itu bukan hanya datang dari manusia, tapi dari binatang yang disebut Emak sebagai tikus.
KAMU SEDANG MEMBACA
KunBulKoy
AdventureKisah tiga kucing jalanan yang ditinggal mati ibunya. Kisah tiga calon kucing garong yang gagal total. Kisah tiga jantan di timur Jakarta.