BAB 1

459 19 2
                                    


Mimpi buruk. Satu lagi mimpi buruk untuk melengkapi pagi hari.

Biasanya mimpi buruk tidak terla

lu mengganggu bagi ku, teapi belakangan ini mimpi buruk ku terasa semakin nyata, seperti kita menggunakan kacamata 3d saat melihatnya.

"Lia... Lia" suara itu memaksa masuk ke dalam mimpi buruk yang sedang di putar.

Akhirnya, rasanya senang banget aku bisa mendengar suara yang aku kenali. Perlahan-lahan mimpi burukku mengabur mambiarkan cahaya masuk menyeruak dari sela-sela mataku.

Satu mimpi buruk sudah terlewati, tapi satu hari buruk masih menunggu.

"Li, bangun dong udah jam berapa sekarang? Kamu sekolah gak?" Rena berusaha membangunkakan.

Rena berdiri di sebelah kasurku dengan seragam putih abu-abunya yang sudah terpasang rapi. Rena sudah menjadi teman sekamarku sejak dua tahun yang lalu.

Seragam abu-abu Rena masih belum cukup untuk menutupi postur tubuh rena yang terbilang sempurna walaupun dinilai dalam sudut pandang wanita. Dengan rambut coklatnya, kulit putih mulus yang pasti membuat iri perempuan yang dalam radius sepuluh meter. Seolah belum cukup membuat iri, mata biru laut Rena menatap lurus ke arah aku yang sedang mengumpulkan kesadaran.

"kamu udah siap aja Ren? Udah jam berapa sekarang?" aku berusaha menggapai jam alaram di sebelah ku.

Saat aku melihat jarum jam alaram aku ragu kalau aku sudah bangun dari mimpi buruk. Gila aja sekarang tiga puluh menit sebelum jam pelajaran pertama dimulai.

"Shit. Ren tunggu sebentar ya, aku mau ganti baju dulu." Kata ku sambil berlari ke lemari.

"gak mandi gitu?" Rena masih sibuk dengan rambutnya.

"Anggap aja sudah mandi" aku menjawab asal saja sambil mengenakan pakaiaan.

Setelah bersusah payah merapikan rambut yang berantakan (dibantu Rena), aku langsung melesat ke bawah.

"Lia, Rena gak sarapan dulu?" tanya bu Sud

Ibu Sud adalah ibu pengasuh panti asuhan di sini. Dengan penuh perhatian bu Sud terus merawat anak-anak yang di tinggalkan orang tuanya. Dari kecil bu Sud yang sudah memperhatikan aku, jadi walaupun aku tidak ingat siapa orang tuaku, setidaknya aku punya bu Sud yang sudah aku anggap seperti orangtua sendiri.

"Gak usah bu, kami udah telat banget."

"Hati-hati di jalan ya, belakangan banyak anjing liar di daerah sini."

"oke bu" kata ku sambil mengacungkan jempol.

Bagi kalian yang bertanya-tanya, 'kok anak panti asuhan bisa sekolah sih?' jawabannya mudah saja. Panti asuhan Bunda Pertiwi (panti asuhan ku) mempunyai aliran dana dari salah satu perusahaan tekstil ternama. Jadi, anak panti yang ingin bersekolah dapat dibiayai oleh perusahaan, tetapi nilai mereka harus terjaga kualitasnya. Sedangkan mereka yang tidak ingin sekolah akan mendapatkan pembinaan kewirausahaan untuk modal mereka saat dewasa nanti.

"Ren kita lewat jalan pintas hutan aja. Kalau lewat jalan biasa bisa telat nanti kita." Kataku setengah berlari.

"terserah deh Li, oh iya hari ini kita jam pertama pelajaran fisika loh."

"Jangan diingatin dong." Aku membayangkan kumis pak Bur yang naik turun saat memarahi siswa yang terlambat.

Jalan yang kami lalui hari ini menuju sekolah sebenarnya bukan jalanan untuk umum, jalan ini cuma jalan setapak kecil yang mengarah ke belakang sekolah melalui hutan kota kami. Kalau dibandingkan dengan jalan biasa, kami bisa memotong waktu sangat banyak jika melalui jalan pintas ini.

The ArcherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang