BAB 6

120 12 0
                                    

"Ayo Li. Jangan sia-siain pengorbanan Rena." Ucap Rian dengan suara Rendah. Sepertinya dia sudah membuat keputusan yang paling sulit di hidupnya.

Aku mengikuti Rian masuk ke dalam portal tadi setelah mendengar ucapannya tadi. Sebelum masuk aku melihat ke belakang sekali lagi ingin berharap kalau Rena berlari ke arah kami dengan kecepatan supernya. Tapi itu tinggal harapan belaka.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Kau pasti bertanya-tanya bagaimana rasanya melewati portal antar dimensi. Kalau kalian punya rencana untuk melakukannya, aku sarankan tidak usah.

Perjalanan antardimensi tidak sekeren yang aku pikirkan awalnya. Saat memasuki portal itu yang bisa akulihat hanya warna hitam pekat. Saking pekatnya aku tidak bisa melihat tangan kananku yang terulur di depanku.

Satu-satunya penuntun jalanku hanya tangan Rian yang memegang tanganku. Tangan Rian satu-satunya kehangatan disini. Di dalam portal seperti ada hembusan hawa dingin dari berbagai arah. Rian memegang tanganku dengan lembut, beberapa kali dia berbicara kepadaku untuk menghilangkan rasa cemasku.

Setelah beberapa menit melewati portal, akhirnya kami sampai pada sisi sebrang portal itu. Saat kami keluar portal tadi menhilang, hanya meningggalkan tumpukan batu yang tidak beraturan.

Perasaan bersalah mulai memuncak saat aku mengingat Rena. Aku Cuma bisa terduduk dan menangis sambil memeluk kedua lututku. Rian berjongkok di sebelahku sambil megusap punggungku.

Aku berusah mengatur napas, menata emosiku. Saat sudah merasa labih baik aku menatap tempat aku berdiri sekarang, di depanku ada padang rumput luas. Padang rumput itu dekelilingi oleh tanaman semak belukar dan pohon-pohon tinggi. Aku pikir di dunia fantasi aku akan melihat palau-pulau mengapung, hewan-hewan reptil besar bersayap atau sebagainya.

Rian membantuku berdiri. Setidaknya Rian tampak lebih tegar ketimbang aku. Walaupun matanya merah menahan air mata, perawakan Rian tetap seperti biasanya.

"Rian, maafin aku ya," kataku. "hanya karena demi aku Rena sampai gak bisa pulang sama kamu." Aku berusaha menahan air mataku saat mengatakan kalimat tadi. Coba saja Rena tidak bertemu dengan aku pasti masalahnya tidak akan seperti ini.

Rian diam sebentar,lalu memandang langit. "Rena pernah bilang dia gak suka langit di dunia mu, katanya langit duniamu tidak secerah dunia kami. Tapi dia juga pernah bilang kalau dia senang bisa berteman sama kamu." Ucap Rian.

"setidaknya dia melakukannya karena pilihannya sendiri. Kamu gak usah merasa bersalah." Lanjut Rian.

Rian menarik tanganku ke berjalan ke depan. Aku berusaha menikmati pemandangan di sini untuk menghapus sedihku. 'benar. Langitnya lebih cerah.' Batinku.

Saat melewati semak belukar, aku mendengar suara aliran sungai. Saat sudah sampai aku melihat sungai besar yang mengalir ke arah lembah. Di lembah itu ada semacam pedesaan dengan rumah-rumah yang terbuat dari kayu dan lahan perkebunan. Di dekat sungai ada Rumah berwarna coklat besar.

Saat Rian mulai menapaki jalan menurun menuju lembah itu aku mulai bertanya "itu tempat tinggal kalian ya?"

"Namanya Tinals. Di sana tempat aku dan Rena besar. Di sana nanti ada orang yang ingin bertemu denganmu." Jelasnya.

Sepanjang jalan dari portal menuju Tinals aku berusaha memperhatikan pemandangan sekitarku. Walaupun gak ada pulau terapung tapi pemandangan di sini sangat indah, pohon rindang yang tumbuh tinggi, wangi bunga-bungaan liar dan suara-suara hewan menghiasi lembah ini.

"ian, kata Rena di sini ada tiga kelompok utama. Kalau kelompok kamu guardian, terus yang kita lawan tadi penyihir, satu lagi apa?" tanyaku penasaran

"kamu gak sadar?" Rian berhenti dan langsung menatapku. "anjing-anjing yang kamu lawan kemarin sama hari ini juga dari duniaku."

Aku terdiam mendengar jawaban Rian.

"beneran?? Aku kira anjing-anjing itu hasil eksperimen penyihir-penyihir itu." Jawabku akhirnya. Tunggu Rian tau dari mana aku kemarin ketemu sama anjing itu juga.

"Kamu tau dari mana aku kemarin ketemu sama ajing-anjing itu?? Terus satu lagi, ukurannya kok bisa beda jauh sama kemarin?"

Rian melanjutkan perjalanan kami sambil mendengar pertanyaanku. "kemarin Rena yang ngasih tau aku sambil minta aku untuk mengaktifkan portal," oh Rena. Aku lupa. "kalau masalah ukuran itu hanya masalah perspektif aja. Kemarin waktu kamu ketemu sama anjing-anjing itu kamu kan belum tau tentang dunia kami." Jelas Rian dengan santai.

"mungkin aja 'anjing' yang kamu lihat beda sama yang aku lihat." Tambahnya. Dia sengaja menekankan suara pada kata anjing.

Aku gak mau ngebayangin bentuk asli anjing-anjing tadi. Bentuk yang tadi aja mungkin bakal buat aku mimpi buruk nanti malam.

"jadi, kelompok yang satu lagi kekuatannya bisa berubah jadi 'anjing'?"

"bukan hanya 'anjing' Li, tapi mereka bisa berubah jadi binatang-binatang buas." Jawab Rian.

Saat aku sudah dekat dengan Tinals aku bisa melihat manusia-manusia dunia ini, ternyata orang-orang ini tidak terlalu jauh berbeda dengan orang-orang bumi. Yang nampak perbedaan menonjolnya mungkin laki-laki dewasa di sini semuanya bertubuh tegap dan berdada bidang, beda banget dengan kotaku dulu yang kebanyakan buncit-buncit.

Aku ingat belum menanyakan yang paling penting. "Ian, bahasa di sini beda ya sama di tempatku?"

Rian tersenyum tipis mendengar pertanyaanku. "kamu pasti kaget banget kalau tau."

"serius dong Ian??" aku sudah mulai penasaran.

"dari tadi, sejak kita ada di dunia ini aku sudah gak ngomong bahasa Indonesia lagi"

Aku langsung menghentikan langkahku saat mendengar jawaban Rian. Aku coba mengingat percakapan dengan Rian tadi. 'benar juga ya' batinku.

Senyum Rian makin merekah saat melihat tanggapan ku. "mungkin bahasa dunia ini memang sudah ada dalam diri kamu walaupun kamu gak sadar. Aku aja awalnya kaget waktu kamu bisa bahasa duniaku."

Berarti masalah bahasa aku gak usah cemas.

Aku merasa Risih saat kami masuk ke dalam Tinals. Orang-orang melihat kami dengan tatapan aneh, orang-orang berbisik bisik saat kami lewat. 'sepertinya Rian mau membawaku ke rumah besar dekat sungai itu.' Aku mengikuti kemana Rian berjalan.

Saat sudah di depan Rumah besar itu aku melihat ada tiga orang yang sepertinya sudah menunggu kami. Sewaktu sudah dekat aku menyadari kalau di wajah tiga orang tadi tergaris banyak sekali keriput yang menandakan usia lanjut mereka. Dari jauh aku melihat mereka seperti orang dengan usia paling tidak empat puluh tahun. Walaupun dengan banyak keriput aku tidak melihat bungkuk sedikitpun apalagi sampai menggunakan tongkat.

Beberapa meter dari tiga orang tua itu Rian menghentikan langkahnya. Orang tua yang di tengah maju ke arahku.

Dia tersenyum ke arahku. "selamat Rhea Green Leaf."

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

hei-hei ketemu lagi sama aku, makasih ya yang sudah baca cerita aku dari awal. 

jangan lupa vote dan share ya!!!

tunggu cerita aku selanjutnya.

The ArcherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang