BAB 4

124 14 2
                                    

"Li, kamu dapat kalung itu dari mana?" Rena mulai mendekat ke arahku.

"tadi malam bu Sud memberikannya. Katanya itu dari orang tua ku dulu."

Hening. Raut muka Rena mulai semakin cemas, keringat mulai membulat di dahinya.

"kita harus pergi sekarang. Mereka mungkin sudah menerima tandanya."

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Aku terus melihat Rena. Aku tidak mengerti apa yang aku dengar. Rena mulai panik. Dia mulai melangkah cepat, berputar-putar di dalam kamar. Rena mulai mengeluarkan koper kecil miliknya lalu memasukkan bajuku ke dalamnya.

"hei-hei. Sabar dulu. Kalau kamu mau kabur dari sini kabur aja, aku gak ikutan." Kataku sambil mengambil baju yang ada di dalam koper. "Tenang aja aku gak ngadu ke bu Sud." tambahku

"Kamu gak ngerti." Rena mengerang frustasi. Aku belum pernah mendengar suaranya sekuat ini. Entah karena marah atau frustasi.

"gak mungkin aku ngerti kalau kamu gak mau ngasih tau ke aku Ren." Sahutku.

Rena tampak tenggelam dalam pemikirannya sendiri. Semakin lama dia nampak semakin ragu.

"kita pergi sekarang."putus Rena. "kamu suka atau enggak kita bakal pergi."

Aku terdiam saat Rena mendekat ke arahku. Saat sudah di depanku Rena mangayunkan ku ke punggungnya. Aku tak menyangka kalau Rena sekuat ini, aku terkejut–tentu saja— langsung memukul- mukul punggung Rena.

"Rena!!!" teriakku "gak lucu. Turunin sekarang atau aku teriak manggil bu Sud." Aku berusaha memukul dan mengancam Rena.

"maaf banget Li. Nanti aku kasih penjelasannya" Rena berlari ke arah jendela kamar dan langsung loncat ke bawah.

Aku dulu pernah coba-coba untuk loncat ke bawah, meskipun dengan ancang-ancang yang bagus sekalipun rasanya sakit banget. Tapi Rena loncat ke bawah dengan bawaan empat puluh delapan kilo di punggungnya.

"kamu gila ya?" bentakku. "kalau kita mati kayak mana? Kalau aku mati kayak mana? Kalau mau mati mati aja sendirian." Saat di bawah aku terus membentak-bentak Rena, berharap suaraku bisa di dengar sama anak panti yang lain.

Kamar kami ada di gendung panti bagian belakang lantai dua, jadi kalau aku masang lagu keras-keras jarang ada orang merasa terganggu. Itu kelebihan kamarku dan Rena. Tapi sekarang aku nyesal punya kamar di belakang.

"Pegangan Li."seru Rena.

Saat Rena mulai berlari –dengan kecepatan supernya—aku hampir saja terlempar ke belakang. Untung tangannya masih memegangi tubuhku. Tanpa diperitah lagi aku langsung berpegangan erat-erat dengan apapun yang bisa aku cengkram. Aku menundukkan kepalaku, berusaha tidak melihat sekitar. Terakhir kali berlari sama Rena itu bukan pengalaman yang menyenangkan. Sangat tidak menyenangkan

Rena menerobos hutan bagai peluru, bagai hantu. Tak ada bukti bahwa dia memijakkan kakinya di tanah, Cuma percikan-percikan listrik kecil yang keliar dari telapak sepatu Rena.irama napasnya tidak berubah, tidak menunjukan bahwa dia berusaha untuk berlari sekencang ini.

Aku terlalu takut untuk menutup mata. Suasana sejuk pagi hari menamparku disertai sinar matahari lembut khas pagi hari. Semoga tidak ada yang kebetulan yang melihat kami dengan kecepatan seperti ini. Kalau ada, bakal susah masalahnya.

Setelah beberapa menit 'berlari,' akhirnya Rena memperlambat langkahnya. Saat sudah berhenti aku langsung berusaha secepatnya turun dari punggungnya. Ini pertama kalinya aku bersyukur bisa menginjakkan kaki di tanah.

"aku yakin sekarang kamu sudah gila beneran Ren." Tuduh ku sambil memegang perutku yang mulai terasa berputar-putar.

Kami berhenti di depan toko barang-barang antik. Di bagian depan banyak dipajang jam dari abad pertengahan. Jam besar dengan bandul berwarna emas besar yang berayun di bagian tengahnya.

Anehnya toko ini satu-satunya bangunan di daerah ini, kiri kanannya ada pekarangan luas dengan beberapa pohon besar. Di bagian depan ada jalan setapak kecil yang mengarah ke jalan utama kira-kira puluhan meter di depannya.

"Ren mending kita pulang sekarang. Bu Sud pasti sudah cemas sekarang. Mungkin bentar lagi." Kataku

"Tenang aja pasti ada kok yang ngejelasin perginya kita ke bu Sud." Rena berusaha menunjukan wajah tenangnya. Tapi gagal

Rena berjalan ke arah toko dengan terburu-buru saat aku sudah lumayan tenang. Langkah besarnya sangat tidak cocok dengan Rena yang biasnya aku kenal.

"Ren, kamu gak mau masuk ke toko itu kan?" tanyaku.

Rena terus berjalan. "gak apa Li. Di dalam ada cowok ganteng loh."

Aku gak paham dengan yang dipikirkan Rena sekarang. Tadi dia masih panik, tapi dia sekarang bisa buat lelucon gak jelas kayak gitu.

Sewaktu pintu dibuka bel di pintu dendentang. Bagian depan nampak sesak dengan jam antik, lukisan, patung dan perabot lain. Aku ikuut Rena masuk ke dalam, daripada aku di luar sendirian.

Selang beberapa detik saat kami masuk, keluar pria tinggi tegap dengan rambut coklat yang mirip sekali dengan Rena. Kira-kira umur pria ini sepantaran dengan kami, kecuali badan tegap dan otot-otot yang tidak bisa disembunyikan baju ketatnya.

"Li, perkenalin ini Rian. Rian ini Lia" Rena memperkenalkan kami.

Rian mengulurkan tangannya ke arahku. Demi menjaga sopan santun aku menjawab uluran tangan Rian. Untuk ukuran penjaga toko Rian punya tangan yang kasar. Saat melihat dari dekat aku baru menyadari kalau Rian juga punya mata berwarna biru laut seperti Rena.

"sebentar ya aku ambilkan minum dulu" kata Rian

Saat Rian sudah tertutup oleh ambang pintu aku sudah tidak tahan untuk bertanya pada Rena. "jujur ya Ren. Kamu punya hubungan apa sama Rian?"

"gak ada kok. Kami Cuma kenalan jauh aja." Jawab Rena santai.

"gak mungkin kenalan jauh sampai kebetulan punya warna rambut sama. Warna matanya aja juga sama kaya kamu." Kataku kesal setelah mendengar jawaban Rena.

Rena tersenyum mendengar jawabanku. "aku gak nyangka kamu sadar secepat itu." Kata rena. Dia berulang kali melihat ke arah pintu yang dimasuki Rian tadi. "sebenarnya Rian dan aku adalah saudara kembar. Walaupun gak kembar identik."

Shit. Sahabatmu punya kembaran dan kamu gak tau. Sungguh sahabat yang baik.

Tunggu..

"kalau kamu tau kembaran kamu di sini, kenapa kamu tinggal di panti asuhan? Mendingan kamu tinggal di sini sama Rian."

Orang yang dibicaraiin datang. Rian datang sambil membawa tiga gelas teh yang masih mengeluarkan asap.

"oke Li aku bakal jelasin semuanya sama kamu di sini. Semua yang kamu tanyain kemarin sampai sekarang."kata Rena

Rian memberikan aku kursi. Rena duduk di depan ku sambil menunduk ke bawah.

setelah beberapa saat akhirnya Rena mengangkat kepalanya.

"pertama." kata Rena

.....

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

hai semuanya. update lagi nih, walaupun pendek.

kalau ada typo maaf. kalau ada saran silakan di koment,

sesuai janji aku bakalan up date cepat. jadi silakan menikmati. 

habis baca jangan lupa vote ya, terus share sama tema-teman yang lain.

The ArcherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang