1. Same

60 2 0
                                    


7 years later

~Starla De'sandra~

"Sandra! kenapa pesanan no. 5 belum kau antar?"

"Maaf pak" aku menunduk dalam.

"yah sudah cepat sana antar!" Ku tatap sekali lagi pak Hermawan yang sedang mendelik tajam ke arahku. Aku memalingkan kembali wajahku dan mengantarkan pesanan ke no.5 yang telah dipesan seseorang .

Kafe tempatku kerja bisa dibilang kafe mewah dengan gemerlapnya lampu menambahkan kesan anggun dan elegan. Tak hanya itu jika ingin pesan, maka harus jauh-jauh hari terlebih dahulu.

Tapi tetap saja, gaji pegawainya tidak mencapai kebutuhan lebih bahkan jika satu kesalahan saja maka akan dipotong 15%. Makan apa itu dengan uang segitu?

Sudah lebih dari 5 bulan aku bekerja sebagai pelayan di kafe ini. Tak ada lagi tempat yang mau menampung gadis lulusan SMA dengan IQ jongkok seperti diriku.

Dulu aku pernah lomba lari tingkat kota waktu kelas XI semester 1 SMA, guruku bilang jika aku mendapatkan mendali emas maka beliau akan merekomendasikan aku ke kampus terkenal meski aku masih semester 1.

Namun sayang, di detik terakhir lomba itu aku tak dapat menguasai tubuhku lagi. Alhasil aku terjatuh dan kaki sebelah kiriku retak dan harus di beri perawatan intensif. Setelah lulus SMA aku melamar ke sana ke mari, tak ada hasil aku memutuskan bekerja di Kafe ini meski gajiku tak seberapa.

Sudah 7 tahun berlalu yah?

Aku merasa waktu terlalu cepat sampai aku melupakan kejadian itu. 6 tahun lalu aku masih ingat, aku menemukan Stefan dengan alat infus tertancap diseluruh tubuhnya yang terbujur kaku saat aku menengok omaku yang sakit dengan diam-diam di sebuah rumah sakit saat aku kembali ke kota itu.

Aku bahkan menghindari datang di siang hari. Aku terlalu takut jika nanti aku ditemukan oleh salah satu gangster milik mantan pacarku.

Saat itu aku tak henti-hentinya menangis akibat ulahku memasukan Stefan dalam zona bahaya yang diciptakan mantan pacarku.

Setelah bertahun-tahun berlalu aku tak menemukan kabar tentangnya lagi. Dan sekarang aku sedang memulai hidup baru tanpa adanya siksa pedih meski ku akui aku masih kekurangan ekonomi. Tak ada keluarga lagi selain bude yang mempunyai anak gadis cantik kelas 2 SMP. Kini aku hidup untuk membiayai makan kami dan kebutuhan sekolah Airin.

"mbak!"

"yah?" seseorang melambaikan tangannya didepan wajahku. Aku tergagap dan meminta maaf.

"Dari pada melamun, mending ngepel lantai aja, ini yang terakhir ko mbak."

Aku hanya mengangguk sebagai jawaban. Ku lirik jam tangan kecil yang menggantung di pergelangan tanganku. Pukul 08.15 artinya lima belas menit lagi shift ku selesai.

Setelah selesai aku membawa makanan sisa kafe untuk ku bawa pulang. Tapi bukan sisa bekas makanan orang, melainkan sisa yang masih utuh dan tentunya sudah tidak di makan lagi. Aku tak malu untuk membawanya selagi pak Hermawan mengijinkannya.

Pak Hermawan itu pemilik kafe tempatku bekerja, orangnya bisa dibilang baik jika dalam pekerjaan pegawainya nurut dan bisa dibilang kejam jika masalah kesalahan.

Selepas itu semua, aku bersyukur masih bisa makan malam untuk hari ini. Dan aku tak sabar untuk pulang ke rumah. Rasanya sudah lama tidak menampaki kasurku padahal aku pergi kurang dari 12 jam.

"Sandra!!" Aku menoleh pada seseorang yang memanggilku tadi.

"Hey, kau habis kerja Shinta?"

"Iya, aku baru pulang. Hah! Rasanya lelah" Shinta tersenyum lalu merenggangkan kedua tangannya.

Jalanan masih ramai, tentu saja waktu pulang kerja begini pasti sedang macet-macetnya.

"Kamu masih bertemu dengan Rio?" Ku tatap wajahnya yang menghela napas lelah, aku tahu hubungan mereka sedang renggang akhir-akhir ini.

"Dia sepertinya menghindar sejak insiden aku memalukannya di acara keluarganya sendiri" Shinta pernah cerita kalau ia pernah di ajak ke acara keluarga Rio.

Tepat saat tanggal anniversary mereka yang ke-3, Rio mengajaknya ke pesta keluarga namun ada insiden yang memalukan. Shinta bilang dia tidak sengaja menginjak salah satu gaun milik saudara sepupu Rio hingga terjatuh dan merusak acara. Dia sudah berkali-kali memint maaf tapi mereka malah menyuruh Rio membawanya pergi, dia sampai menangis di mobil.

Tentu saja waktu itu aku ingin tertawa ngakak namun berhasil ku tahan karena air muka Shinta yang berubah murung.

"Emmhh.. bagaimana keadaan keluargamu?" Kualihkan pembicaraan Shinta dari bayangan Rio.

"yah begitulah, ibuku masih koma dan aku harus menghidupi kedua adikku" Shinta masih tersenyum namun matanya kosong seakan melihat kehampaan pada setiap detik hidupnya.

"Tak apa, kita senasib Shinta" Aku tak menyangka hidup kita sangat berat. Padahal Shinta bermimpi menjadi Designer terkenal sedangkan aku bermimpi menjadi seorang pengusaha restoran.

Shinta adalah gadis yang kuat melebihi diriku dan kuharap dia mendapatkan seseorang yang bertanggung jawab untuk dirinya dan adik-adiknya.

"Kau tambah seksi saja, Sandra" Setelah lama dalam keheningan Shinta mulai melontarkan lelucon untuk membunuh keheningan.

"Dasar kau!"

"hahahahaaa" Kita tertawa bersama, seakan melepas lelah yang telah dilewati tadi.

Tak ku pungkiri bagian tubuhku yang lain seperti dadaku semakin menonjolkan bentuknya. Dulu aku diejek kurus karena terlalu banyak latihan lari. Tapi setelah bertahun-tahun lamanya, ku kira setelah jarang berolahraga dan aku semakin gemuk.

Kami berpisah karena beda gang dan aku harus mengambil motorku yang ada di bengkel.

Saat itu untuk terakhir kalinya aku melihat senyum di wajah Shinta.

The Ex-BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang