Sebuah Simbol

31 1 0
                                    


Di bawah sengatan matahari yang cukup terik Jenna dan Elanor saling beradu pedang. Jenna mulai menyerang lebih dulu, tangan dan kakinya bergerak lincah. Tampak indah namun mematikan. Serangan Jenna pun disambut serius oleh Elanor. Ia mengeluarkan jurus-jurus pedang yang sudah dipelajarinya di luar istana selama ini.
"Bagus Elanor, keluarkan semua kemampuanmu. Hadapi aku! Dan jangan coba-coba mengalah. Atau aku akan benar-benar membunuhmu." Jenna mengeraskan suaranya di tengah dentingan pedang mereka yang saling beradu. Wajahnya mulai memerah karena terpapar sinar matahari.
"Dengan senang hati, ratu." Elanor menyeringai lalu dengan gerak cepat mengarahkan pedangnya ke arah perut Jenna. Tapi ratu muda itu sangat cekatan dalam menghindari serangan Elanor. Memberikan serangan balik pada kaki lawannya. Terus seperti itu saling menyerang dan menghindar, sampai keduanya basah oleh keringat.

Para prajurit yang mengelilingi dua petarung itu tak bosan-bosannya bersorak, memberikan semangat kepada ratu muda mereka. Namun ada juga yang mendukung Elanor. Tapi bukan menang atau kalah yang dipentingkan dalam pertarungan itu. Sang ratu hanya ingin mengasah kemampuannya. Setelah kejadian tewasnya dua prajurit di taman belakang istana, Jenna merasa harus semakin meningkatkan kewaspadaan. Ia mulai memberlakukan sistem penjagaan yang cukup ketat.

Pertarungan itu pun berakhir dengan pedang yang posisinya berada di leher masing-masing lawan. Seandainya mereka adalah musuh, pedang itu pastilah melukai keduanya sejak tadi.
"Kemampuan ratu bermain pedang tidak diragukan lagi." Puji Elanor, sambil menurunkan pedangnya lebih dulu. Ia mengakui kehebatan Jenna bermain pedang benar-benar mengagumkan. Jenna pun terkekeh mendengar pujian laki-laki itu. "Aku seorang ratu Elanor, dituntut bisa melakukan banyak hal." Benar sekali, Jenna memikul tanggung jawab yang sangat besar. Nasib seluruh rakyat wonderland berada dalam tanggungannya.

Para prajurit pun meninggalkan arena pertarungan, kembali pada tugas masing-masing. Setelah merasa terhibur dengan menonton jurus-jurus pedang yang indah. Mereka berencana di kesempatan berikutnya akan meminta Ratu Jenna mengadakan adu memanah.

Jenna dan Elanor berjalan beriringan menuju tempat peristirahatan yang berada di samping gudang senjata. Lalu duduk pada salah satu kursi panjang.
"Tapi kupikir dengan kekuatan sihir yang ratu miliki, ratu Jenna sudah menakutkan." Elanor tergelak mengingat masa kecil mereka. Saat ia dan Jenna jalan-jalan ke pasar, mereka bertemu segerombolan anak laki-laki seusianya yang sedang menjahili dua anak perempuan. Jenna pun menyihir salah satu di antara mereka dengan membuatnya tidak bisa bergerak. Yang lainnya tampak sangat ketakutan, lalu melarikan diri. Anak itu menangis, dan memohon ampun pada putri Jenna. Berjanji tidak akan mengulangi kesalahannya. Barulah Jenna membebaskannya.
"Kau ingin aku menyihirmu juga, Elanor?" Jenna berpura-pura mengancam, sambil menyeka keringat di wajahnya. Sekalipun memiliki sihir, ia terbilang jarang menggunakan kemampuan tidak biasanya itu.
"Ratu tidak akan tega menyihir pria tampan sepertiku." Elanor membagakan diri, dan ia cukup tau Jenna hanya berpura-pura mengancamnya.

Dua pelayan melintas tidak jauh dari tempat mereka beristirahat. "Pelayan...!" Jenna melambaikan tangannya pada dua pelayan itu. Membuat keduanya berlari tergopoh-gopoh ke arah mereka. Jika dilihat dari wajahnya pastilah pelayan-pelayan itu hampir seumuran dengannya.
"Ya ratu?" Kedua pelayan itu menghadap dan memberi hormat.
"Tolong ambilkan aku minuman dan beberapa makanan, bawa kemari. Aku dan Elanor ingin beristirahat disini." Sekalipun mereka hanya seorang pelayan, Jenna membiasakan diri untuk mengatakan tolong jika ia butuh bantuan. Menurutnya apapun pekerjaan atau jabatan mereka, harus tetap saling menghargai.
"Baik ratu." Pelayan itu pun mengangguk memberi hormat, lalu bergegas menuju dapur.

"Jen!" Elanor memanggil Jenna tampa embel-embel ratu jika mereka hanya sedang berdua saja. Sesuai permintaan Jenna.
"Ada apa, El?" Jenna mengernyit bingung melihat Elanor yg tiba-tiba menyadorkan sebuah kotak berwarna perak ke arahnya."Apa itu?" Ia tidak langsung menerima kota perak itu.
"Ambil dan bukalah, Jenna! Ini hadiah dariku." Elanor meletakkan kotak itu secara paksa di tangan Jenna. Dengan ragu-ragu Jenna membuka kotak itu. Tapi setelah melihat isinya ia menatap Elanor dalam.
"Kau membelikan ini untukku?" Tanya Jenna, sambil memperhatikan kalung itu. Sebuah liontin dengan batu kristal biru.
"Iya aku membelinya dari seorang nenek tua penjual perhiasan. Ia bilang kalung itu pembawa keberuntungan. Aku tau kau sudah punya banyak perhiasan. Tapi ini hadiah dariku. Jadi kau harus memakainya." Ucap Elanor panjang lebar.

Queen Of The WonderlandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang