Wabah di Homlet

18 1 0
                                    


"Ibu yang mengasuh Ratu Jenna sejak dia kecil. Bahkan ibu sudah bersama Ratu Letizia sejak dia belum menikah dengan Raja Arven. Bagaimana mungkin ibu tidak tau apa-apa?" Elanor terus mendesak ibunya agar menceritakan kebenaran tentang simbol iblis yang Jenna miliki. Sementara Jenna telah kembali ke kamarnya untuk berganti pakaian, setelah bertanya pada Anora tentang hal yang sama. Namun wanita itu tidak menjelaskan apapun.
"Aku hanya tau itu tanda lahirnya, Elanor. Bukan simbol iblis atau semacamnya." Jawab Anora, sambil meremas jemarinya gelisah. Wajah wanita tua itu terlihat cemas, tampak tidak sejalan dengan jawabannya.
"Jika ibu benar tidak tau, lalu kenapa ibu terlihat cemas? Ayolah bu, jangan sembunyikan kebenaran. Mungkin Ratu Jenna sedang dalam bahaya." Elanor memelas, ia tau ibunya sedang menutupi sesuatu. Anora pun menatap putranya sedih. Haruskah ia menceritakan rahasia besar itu, padahal ia telah berjanji tidak akan mengatakannya pada siapa pun. Bahkan pada Jenna sendiri.

22 tahun lalu

"Lepaskan aku brengsek!" Wanita muda itu berteriak marah. Saat tersadar dimana posisinya berada. Ia tengah terkurung di dalam kamar seorang pria yang sangat dibencinya. Kedua tangannya terikat pada tiang ranjang.
"Tidak akan, sayang. Aku memang brengsek tapi aku sangat mencintaimu." Pria itu tertawa rendah dan mengabaikan semua kemarahan sang wanita. Terus mendekat hingga tubuh ramping wanita itu berada dalam kungkungannya. Tangannya membelai lembut wajah cantik itu.
"Apa yang ingin kau lakukan, iblis?" Ucap wanita itu sarkastik.
"Tentu saja ingin membuatmu menjadi milikku." Pria berjubah hitam itu menyeringai licik, wajahnya semakin mendekati sang wanita. Tatapan mata mereka bertemu. Satu mata memancarkan kebencian, satu mata lagi memancarkan damba dan kekecewaan.
"Jangan berani menyentuhku. Atau Arven akan membunuhmu!" Ancam wanita itu dalam ketakutannya sendiri. Tubuhnya menggigil, Merasakan nafas pria di hadapannya yang menerpa wajahnya. Andai hatinya belum dipenuhi oleh Arven, mungkin saja ia akan menerima laki-laki itu. Dia terlalu tampan untuk ditolak.
"Arven tidak akan peduli. Kapan kau akan sadar jika bukan dirimu yang dia cintai?" Wajah pria itu berubah marah setelah mendengar nama Arven disebut. Aura kegelapan menyelimutinya. Ia pun merobek pakaian wanita yg dicintainya itu secara paksa. Hanya satu yang ada dipikirannya, membuat wanita itu menjadi miliknya.
"Tidak...tidak..." jerit tangis wanita malang itu mengiringi hilangnya mahkotanya.
**
Lelah menunggu jawaban ibunya yang tetap bungkam, Elanor pun memilih keluar mencari Jenna. Belum sampai di depan kamar sang ratu, ia telah melihat Jenna melintas di koridor bersama dua orang pelayan.
"Ratu...tunggu!" Teriak Elanor, menghentikan langkah Jenna yang akan menuju ruang singgasananya. Ia sedang terburu-buru, seorang pelayan memberitahunya jika ada seseorang yang ingin bertemu.

"Ada apa Elanor?" Jenna menoleh pada laki-laki yang memanggilnya itu. Elanor menampilkan senyum menggodanya pada dua pelayan di samping Jenna. Membuat Jenna tanpa sadar mendengus kesal, dan kembali meneruskan langkahnya.
"Kenapa Ratu terlihat buru-buru sekali?" Tanya Elanor sambil mengiringi langkah Jenna. Perempuan itu bahkan mengangkat sedikit gaun kebesarannya agar bisa berjalan lebih cepat.
"Ada yang ingin bertemu denganku, Elanor." Jawabnya cepat tanpa menoleh lagi.
"Siapa?" Elanor sedikit berlari untuk menyamakan langkah.
"Aku juga tidak tau." Pelayan memang tidak mengatakan apa dan siapa, tentang orang yang ingin bertemu dengannya.

Para prajurit yang sedang berjaga menunduk memberi hormat, saat Ratu Jenna memasuki ruang singgasana keratuannya. Jangan tanya dimana para menteri atau pejabat istana lainnya. Karena mereka memang tidak tinggal di istana, melainkan di rumah khusus pejabat kerajaan. Mereka semua akan berkumpul jika diminta. Yang tinggal di istana hanyalah ratu, pelayan dan kepala bagian pertahanan beserta prajuritnya.

Dari kejauhan tampak seorang perempuan tua yang sudah menunggu. Pakaiannya lusuh, wajahnya menampilkan gurat kesedihan. Tapi wajah tua itu sedikit tersenyum saat melihat kedatangan Jenna.
Sampai di kursi kebesarannya Jenna duduk dengan anggun dan penuh wibawa. Sementara Elanor duduk pada kursi pejabat istana. Karena Elanor lah yang menjadi kepala bagian pertahanan saat ini.
"Nenek kah yang ingin bertemu denganku?" Tanya Jenna disertai senyum hangatnya.
"Iya, benar ratu. Hamba menghadap karena ada hal penting yang ingin hamba sampai kan." Perempuan tua itu dengan tergopoh-gopoh turun dari kursinya, lalu bersimpuh di hadapan Jenna. "Ampun Ratu, jika kedatanganku mengganggu hari libur anda. Hamba mendengar jika ratu sedang beristirahat. Tapi kami sangat terdesak." Ia meneruskan pengaduannya sambil menunduk. Membuat Jenna merasa iba, lalu turun dari singgasananya.
"Bangun nek! Jangan seperti ini. Aku merasa tidak nyaman melihatmu bersimpuh di hadapanku yang jauh lebih muda." Jenna membantunya agar duduk kembali pada kursi tamu.
"Ternyata benar, ratu muda kami seperti malaikat." Puji perempuan tua itu dengan mata yang berkaca-kaca dan penuh kekaguman.
"Nenek terlalu berlebihan." Jenna sedikit terkekeh dengan sanjungan itu, lalu kembali duduk di singgasananya. sungguh ia sudah terbiasa menerima pujian. Namun tetap tidak merasa nyaman. Baik seperti malaikat, cantik seperti bidadari. Padahal ia tau kekurangannya tidak kalah banyak.

Queen Of The WonderlandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang