Setelah melewati perjalanan yang panjang dan melelahkan. Akhirnya Jenna sampai ditujuan. Homlet riuh oleh kepanikan melihat kedatangan Jenna.Tidak ada yang ingin mendekat karena takut menularkan wabah penyakit pada ratu mereka. Tak ingin melihat wajah cantik itu melepuh dan bernanah, seperti yang dialami oleh kebanyakan orang di Homlet.
Jenna turun dari kudanya, berjalan menyusuri desa Homlet dengan perasaan iba. Sebagian orang histeris karena kesakitan, sebagian lagi karena kehilangan. Tampaknya wabah itu telah memakan cukup banyak korban.
"Ratu sudah datang." Seorang tabib yang Jenna kirim bersama prajurit dan perempuan tua kemarin, lebih dulu menghampirinya. Menunduk memberi hormat.
"Iya tabib, aku baru saja datang. Harusnya aku sampai sedikit lebih cepat. Tapi di jalan ada sedikit rintangan." Jenna tersenyum masam. Mengingat wanita yang menyerangnya itu bukanlah sedikit rintangan. Melainkan menjadi beban pikirannya juga saat ini.
"Rintangan apa ratu? Tampaknya anda sangat lelah." Ujar tabib itu sedikit ingin tahu.
"Ah bukan apa-apa tabib. Lupakan saja. Aku ingin tau bagaimana hasil pemeriksaanmu terhadap rakyatku disini." Jenna berusaha menutupi rasa lelahnya dan kembali fokus pada tujuan. Ia seorang ratu tidak boleh terlihat lemah."Sebaiknya mari kita membicarakan ini di tempat peristirahatan. Mungkin ratu lelah dan membutuhkan makanan." Tabib itu memberi usul, sedikit kasihan pada Jenna. Gadis seusianya belum seharusnya memikul tanggung jawab sebesar wonderland seorang diri. Tapi Jenna memiliki takdirnya sendiri.
"Baiklah, jika menurutmu itu yang terbaik tabib." Jenna menuruti saran tabib paruh baya itu. Ia memang butuh makan dan air untuk membersihkan diri. Perjalanan dan pertarungan tadi membuat tubuhnya terasa lengket oleh keringat.
"Mari ratu..." tabit itu berjalan lebih dulu menggiring Jenna menuju penginapan yang sudah ia siapkan. Jenna pun mengekor di belakangnya sambil memegang tali kekang Brave.»Di tempat lain
"Apa yang sudah kau lakukan, Liona?" Di koridor yang gelap seorang laki-laki mencengkram bahu gadis bernama Liona. Rahangnya tampak mengeras menahan amarah.
"Memangnya apa yang kulakukan, Dalton?" Liona menatap pria di hadapannya sengit. Itu bukan tatapan benci, melainkan kekecewaan.
"Jangan berpura-pura tidak tau, Liona. Aku melihatmu!" Dalton berusaha mengendalikan amarahnya. Mengingat Liona yang begitu baik padanya selama ini. Dan ayah gadis itu sudah memintanya berjanji untuk menjaga Liona. Tapi apa yang Liona lakukan membuatnya benar-benar hilang kesabaran.
"Kau yang membuatku melakukan semua itu, Dalt. Kau penyebabnya." Suara Liona semakin meninggi, dadanya terasa sesak karena amarah. Membuat Dalton mengerutkan keningnya.
"Apa maksudmu, Liona?" Dalton menatap gadis di hadapannya tidak mengerti. Mengapa ia yang menjadi penyebabnya.Sesaat keduanya terdiam, hanya saling menatap. Tatapan Liona berubah sendu memancarkan kesedihan. Membuat Dalton semakin kebingungan, bukankah seharusnya ia yang marah?
"Sudahlah Dalt, kau memang tidak akan pernah mengerti perasaanku." Cemburu dan takut kehilangan, mungkin itulah tepatnya untuk menggambarkan perasaan Liona. Air matanya mulai ikut berbicara, dengan cepat Liona meninggalkan pria di hadapannya."Hei...Liona, kau mau kemana?" Teriak Dalton, namun gadis itu tetap tidak menghentikan langkahnya. Dalton baru menyadari ada luka di tangan dan kaki gadis itu. Darahnya berceceran di lantai.
"Aku akan membunuhnya, Dalton." Teriak Liona, lalu menghilang di ujung koridor. Mendengar itu Dalton hanya mampu mengacak-acak rambutnya prustasi.# * # * #
"Apa? Sihir?" Jenna cukup terkejut mendengar hasil pemeriksaan dua tabib terbaiknya. Sungguh diluar dugaan jika ini diakibatkan oleh sihir hitam. Itu berarti tabib pun tidak akan bisa membantu orang-orang di homlet.
"Benar ratu, begitulah yang kami ketahui. Dan dengan sangat menyesal kami tidak bisa membantu menangani ini." Ucap salah seorang tabib.
"Tampaknya hanya ratulah yang bisa membantu mereka." Tabib lain menimpali. Mereka jelas tau bahwa Jenna mempunyai kekuatan sihir, hanya saja jarang dipergunakan. Ia lebih suka hidup seperti manusia lain, dibandingkan mempermudah semuanya dengan sihir.
"Apa sudah tidak ada jalan lain tabib?" Dua tabib di hadapan Jenna hanya menggeleng.
"Baiklah, jika memang hanya itu caranya. Akan kulakukan demi rakyatku. Besok kumpulkan semua orang di Homlet, aku akan mengobati mereka." Jenna menarik nafasnya dalam-dalam. Seolah lelah dengan semuanya, tapi tidak bisa beristirahat.
"Baik ratu." Kedua tabib itu menjawab bersamaan. Bersiap menjalankan perintah ratu mereka.Pagi-pagi sekali Jenna telah bersiap untuk mengobati penduduk Homlet. Orang-orang berkumpul dengan antusias, begitu senang karena akan terbebas dari penyakit menjijikan itu.
Ada yg membawa anaknya, membawa istri atau suami mereka. Semuanya bersorak meminta agar disembuhkan lebih dulu. Membuat Jenna sedikit gerah.
"Dengar semuanya, aku akan mengobati kalian satu persatu-satu. Tapi harap mengantri." Jenna menatap tajam seluruh penduduk Homlet."Kalau kalian saling rebutan, bagaimana aku bisa kosentrasi menyembuhkan kalian? Jadi tolong bekerja sama." Jenna harus bertindak tegas, agar mereka semua tetap tenang.
"Baik ratu..." akhirnya penduduk homlet pun setuju untuk mengantri.Jenna pun memulai ritualnya menyembuhkan orang-orang yang sakit. Tangannya mengusap kepala mereka satu persatu, merafalkan mantra sihir yang hanya dimengerti oleh Jenna sendiri. Lalu tangannya secara ajaib mengeluarkan cahaya terang kebiruan. Dengan itu lepuhan-lepuhan di kulit mereka ikut hilang tidak berbekas. Sungguh khas cara sihir bekerja. Ajaib, diluar akal sehat.
Penduduk Homlet yang cukup banyak membuat Jenna kewalahan. Namun ia tetap mengobati orang-orang itu hingga menjelang malam. Jenna tampak pucat karena energinya yang terus terkuras. Ia bahkan tidak beristirahat untuk makan atau pun minum. Tepat setelah selesai mengobati pasien terakhirnya Jenna jatuh pingsan. Lelah dan kehabisan tenaga. Membuat orang-orang di sekitarnya histeris, melihat ratu mereka yang hilang kesadaran.
# * # * #
Cahaya matahari pagi menembus masuk melewati jendela kamar, yang tirainya memang tidak tertutup. Silau, itulah yang pertama kali Jenna rasakan. Matanya mengerjap-ngerjap menyesuaikan diri. Satu tangannya terangkat untuk melindungi matanya.
Cahaya itu mengembalikan kesadaran Jenna secara perlahan. Setelah dua hari tertidur lelap. Kemarin prajurit dan tabib membawanya pulang ke istana masih dalam keadaan tidak sadarkan diri. Membuat Elanor dan Anora gelagapan. Anora ingin ikut menjaganya semalam, tapi Elanor melarang ibunya. Menyuruh ibunya tidur dengan berjanji akan menjaga Jenna semalaman.
Setelah merasa kesadarannya sedikit pulih, Jenna mencoba untuk bangun dan bersandar pada kepala ranjang. Tapi rupanya Pergerakan Jenna membuat Elanor yang tertidur menunduk di samping ranjangnya, ikut terbangun.
Sesaat pria itu mengerang, merasa tidurnya terganggu. Ia baru tertidur jam empat pagi. Bangun jam 6 pagi tentu terlalu cepat untuknya.
"Kau sudah sadar Jen?" Elanor berbicara sambil menguap dan mengusap matanya agar terbuka sempurna.
"Kau menjagaku semalaman?" Tanya Jenna dengan suara parau, khas bangun tidur. Kerongkongannya terasa kering.
"Iya, kau membuatku dan ibu khawatir, Jen. Kupikir si ratu sihir tidak akan kalah dari apapun." Elanor terkekeh, memulai candaan ringannya. Sungguh ia merasa lega melihat ratu muda itu mendapatkan kesadarannya kembali."Maaf sudah membuatmu khawatir, El. Aku benar-benar kehabisan tenaga kemarin." Ucap Jenna, merasa bersalah.
"Tak apa Jen. Kau melakukan itu demi rakyat. Demi Wonderland. Kau sungguh ratu yang hebat." Puji Elanor. Jenna memang hebat soal berkorban, bahkan sampai melupakan dirinya sendiri.
"Terimakasih sudah menjagaku, Elanor." Jenna tersenyum masam.Sesaat kemudian seorang pelayan masuk, membawa nampan berisi segelas air putih, teh hangat dan beberapa makanan. Tatapan pelayan itu bertemu dengan manik biru langit milik Jenna. Membuat Jenna seperti megingat sesuatu, seoalah pernah melihat tatapan itu. Tapi dimana dan siapa, itulah yang ia lupakan.
"Ini sarapannya ratu." Pelayan itu meletakkan nampannya dengan menunduk. Sementara Jenna memukul-mukul kepalanya sendiri berharap akan mengingat sesuatu. Membuat Elanor menatapnya bingung.
"Kau kenapa Jen? Apa kepalamu sakit? Tanya Elanor khawatir.
"Siapa namamu pelayan?" Tanya Jenna secara tiba-tiba. Membuat pelayan itu sedikit tersentak. Bahkan Elanor ikut terkejut, tidak biasanya Jenna menanyakan nama pelayannya.Beberapa saat pelayan itu terdiam, lalu menoleh ke arah Jenna dengan tersenyum.
"Namaku Liona, Ratu Jenna." Mendengar jawaban itu Jenna teringat bahwa pelayan itu adalah pelayan yang sama, dengan yang mengantarkan mereka minuman setelah selesai bertarung hari itu.#Bersambung
Ini part yang berat untuk diselesaikan. Membuat Scene sihir itu ternyata sulit. 😑
Aku hanya berharap ini tidak terlalu buruk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Queen Of The Wonderland
RandomWonderland yang damai kehilangan kedamaiannya setelah kemunculan seorang perusuh dari Darkland. Ratu muda Wonderland sendirilah yang menjadi penyebabnya. Karena hubungannya dengan iblis di masa lalu. (Wonderland vs Darkland) Warning : Cerita ini tel...