“Sebenarnya, Mufti sudah bilang pada suamiku bahwa kau akan tinggal di sini selama praktek.” Bu Annisa, budenya Mufti duduk di sampingku yang menikmati air kolam. kulihat beberapa ikan bergerak ke kanan, ke kiri, berkecipak lalu menyembul di permukaan air. “Tapi, kau malah tinggal di mess klinik.”
“Terima kasih, Bu. Bukan tidak mau tinggal di sini, hanya saja, saya masih praktek dan jika tinggal di sana akan mempermudah jika ada pasien,”
“Aku mengerti, aku hanya sedikit senang dan belum puas karena ada kamu.” Wanita itu mengelus perutnya, “Mufti terlihat normal saat bersamamu.”
Aku menoleh, kaget dan tak mengerti.
“Ia bisa tersenyum, kesal dan ekspresi lainnya dan itu terlihat dari hatinya, biasanya jika denganku, ia hanya tersenyum, berkata lemah lembut dan tak neko-neko. Namun, saat denganmu, aku melihat sisi lain dari dalam dirinya.”
Aku tak bisa menahan senyumku, malu-malu kulihat wajah yang masih ayu meski sudah beranak tiga.
“Mungkin karena saya memang tipikal orang menyebalkan, Bu.”
“Bisa jadi, atau mungkin ada hal lain? Dia menyukaimu dan biasanya instingku sebagai wanita tidak salah.”
Aku teringat perilaku Mufti tadi, setelah aku mengambilkan nasi untuknya, ia malah pindah tempat. Tidak mungkin Mufti memiliki rasa seperti yang dituduhkan Bu Annisa. Lalu atas dasar apa, wanita hamil tua itu berkata semacam itu? Entah kenapa, aku jadi nelangsa.
Suara bedug mengagetkan aku, disusul suara adzan berkumandang di langit ashar. Suara muadzinnya mendayu dan indah. Aku jadi ingat nasehat ibuku. Saat hatimu gundah, sedih dan campur aduk, maka ingatlah Allah, hati menjadi tenang.
Sepertinya, aku harus berterima kasih pada muadzin itu. Ia membuatku berhenti berpikir macam-macam tentang Mufti. Suara adzan itu lembut, kupejamkan mata lalu menyahut adzan. Sungguh, aku sangat bersyukur karena dengan suara itu, aku kembali pada alam sadarku, melupakan hatiku yang ganjil. Baiklah, niatku ke sini untuk praktek tugas akhir, bukan hal lain. Dan, seperti kata ibuku, meskipun kamu wanita, jangan lantas menurutkan perasaan, berjalanlah sesuai takdir Allah dan teruslah menatap ke depan, karena masa lalu hanya boleh dilihat sepintas, bukan orientasi langkahmu. Wanita adalah kuat.
Dan adzan yang berkumandang di langit saat ini membuat hatiku hangat dan basah.
“Mufti suaranya indah, kan?” Tanya Annisa padaku, ia mengerling. Aku tergagap menyadari siapa pemilik suara muadzin tadi.
***
Lelaki hamper paruh baya itu menatapku dengan lembut, kelopak matanya memejam dan mengelus jenggotnya yang berwarna hitam kecoklatan.
“Saya sangat berterima kasih, Bapak dan Ibu bersedia menampung saya, terima kasih juga pada Kak Mufti.”
“Kau yakin akan tinggal di mess?” Lelaki itu memutar bola matanya pada Mufti yang menunduk dan memainkan jari-jarinya. Aku mengangguk yakin.
“Baiklah, Mufti—kau antarkan dia sampai di mess.” Lelaki itu berdiri. “Semoga praktekmu di sini lancar dan menyenangkan.”
“Aamiin, jazakumullah…,” aku ikut berdiri, menyalami beliau dan saat bersalaman dengan Bu Anissa, ia malah memelukku dengan erat dan hangat.
“Nanti jika ada keluhan dengan kandungan Ibu, jangan ragu-ragu untuk menghubungi saya.”
“Tentu, Nak. Jika kau longgar, mainlah ke sini.”
Aku mengangguk. kami melangkah ke luar dan Mufti mengambil koperku—membawakannya untukku.
Setidaknya ada tiga bidan dan tiga orang perawat memandangku dengan seksama, seolah aku ini sesuatu yang asing dan datang dari peradaban masa lalu di planet lain. Kupamerkan senyum simetrisku dan berbasa-basi menanyakan tentang diri mereka.
“Nah, ini yang kuceritakan tadi pagi, namanya Aqila,” Wali menatap pegawainya yang tinggal di mess satu persatu. “Ini yang tinggal di mess, yang dari sebelah kiri, ada Maryam, Gani, Agus, Melia, Heni, dan Handoko.”
“Senang berkenalan denganmu,” Maryam menimpali ucapan Wali. “Wah, betapa beruntungnya rumah sakit ini kedatangan residen koass.”
“Benar, Bu. Mudah-mudahan banyak manfaatnya….” Timpal wali. “Selain itu, dia adalah adik tingkatku yang keilmuannya tak kuragukan lagi.”
Aku salah tingkah. “Bapak dan ibu terlalu berlebihan, saya masih baru dan seharusnya saya yang beruntung karena memiliki senior yang berkecimpung lama di masyarakat.” Kurendahkan hatiku. Menatap serius mereka dan kulihat wanita yang bermata sipit itu tersenyum.
“Wah, kau benar-benar rendah hati. Beruntungnya suamimu, apa dia suamimu?” Heni menunjuk Mufti yang duduk di sampingku. Aku berjengit, menghela napas yang tiba-tiba memburu. Mufti sendiri tak menampakkan kekagetannya, ia malah tersenyum—tulus dan merekah. Apa aku tak salah lihat?
“Subhanallah,” wanita itu bertasbih. “Kalau begitu, relakan waktu istrimu untuk melayani masyarakat dalam tugas akhirnya ini atau di masa-masa yang akan datang.”
Bijak sekali nasehat bidan itu. Aku menghela napas, menormalkan beberapa organ tubuhku yang seakan berontak mendengarnya. Aku sendiri juga heran kenapa.
“Bukan, Bu. Kami hanya kenalan saja,” balasku sambil lalu.
“Oh, maaf—maaf, aku tak bermaksud mencampur kehidupan pribadimu. Omong-omong, sampai kapan kau praktek di sini?” kata Maryam, kulirik Wali yang belum berkedip menatapku.
“Hanya 7 minggu,”
“Oke, Killa.” Potong Wali. “Itu kamarmu, kau bisa tinggal di sana dan enjoy!” Wali menarik kedua belah bibirnya. “Aku harus pergi dulu.” Pandangannya beralih pada Mufti yang ada di sebelah kirinya. “Mas Mufti, saya tinggal, ya?”
Mufti mengangguk.
![](https://img.wattpad.com/cover/12230802-288-k587250.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Serenade Jingga
SpiritualKilla--mahasiswa koass yang melakukan rotasi klinik program profesi dokter jatuh hati pada seorang pemuda yang menjadi santri bersuara emas di pesantren yang ada di desa yang jadi tempatnya melakukan rotasi klinik. Sayangnya, perasan suka itu disimp...