Prologue

447 36 12
                                    

Hey, please, lupakan masalah semalam yang mengganggu itu. Owh, Ga, sepantas apakah dirimu sampai membuat mood-ku sedemikian hancurnya?

Kutalikan tali sepatu seerat mungkin. Meski dengan perbuatanku ini akan membuat sepatuku rusak, aku tidak peduli.

Argh!

Kutendang dinding pagar sekeras yang kubisa. Sakit di jari-jemariku tak sebanding dengan sakit yang malam tadi kuterima dari laki-laki yang sempat mengaku mencintaiku.

Bulshit!

Cinta katanya? Dan dengan pergi meninggalkanku dia masih mengaku bahwa itu pernyataan sayang? Where? Di mana letak sayang yang dimaksudnya?

Dan sekarang aku terluka. Apa dia tahu? Apa dia peduli? Tidak, 'kan? Bahkah, pagi ini tak kulihat dia berada di depanku seperti sebelumnya.

Ya, sebelumnya, sebelum aku memutuskan mencintainya, sebelum aku memutuskan membagi hidupku dengannya, dan sebelum aku menempatkan dia di atas segalanya.

Lalu setelah semua ia dapatkan dariku dalam waktu yang kubilang cepat, dia enyah, pergi seenaknya.

Owh, why?

Apa yang kurang dariku sebenarnya?

Mataku sebab sekarang dan aku memutuskan memakai kaca mata, orang lain tak boleh melihatku dengan mata yang membengkak.

Lalu lalang kendaraan tak mampu membuatku melupakan kalimat terakhirnya yang ia kirim lewat pesan singkat, kamu nggak menikmati cinta.

Apa, sih yang dia maksud itu? Dia bahkan tidak menjelaskan meski aku sudah merengek meminta penjelasan. Laki-laki terkutuk.

Mam, i'm sorry, anakmu cengeng sekarang.

Langkahku panjang-panjang, pandanganku lurus ke depan, memfokuskan seluruh kesadaranku pada trotoar, jaga-jaga agar tidak menabrak tiang listrik.

Sebuah halte bis membuatku terdiam. Di sana sudah duduk Raga bersama beberapa orang yang berseragam SMA. Aku terpaku sendirian. Pagi ini, aku melihatnya dengan seorang gadis, duduk berdampingan, saling membagi sesuatu lewat ponsel, dan tertawa dengan renyahnya seakan tak merasa ada seseorang yang terluka karenanya.

Kulihat dia melirikku, kemudian memberiku senyuman mengejek sebelum akhirnya menghilang di dalam bis.

Sial, dia bahkan bisa melupakanku dalam waktu sekejap.

Tiba-tiba sesuatu membasahi pipiku. Kurasa bukan hanya pipi, tetapi seluruh tubuh, dan, akh, gerimis. Aku berlari menuju halte sebelum seragamku basah kuyup.

Syukurlah, tidak ada satu orang pun yang bersamaku di sini. Kulepas kaca mata minus ringanku, memasukannya ke dalam ransel. Biarkan saja kesenduanku dilihat hujan. Mungkin rintik-rintik kecil itu bisa memahamiku.

Kutengok arloji yang melingkar di tangan kiri, jam tujuh lewat sepuluh menit. Oke, aku terlambat sekolah hari.

Kuambil ponsel di saku baju. Bukan untuk memberi kabar kepada teman-teman tentang keterlambatanku, itu tidak penting, melainkan untuk memutar sebuah lagu yang semalam kuunduh tak sengaja.

Semoga saja aku tak salah mengunduh.

Pertama yang kudengar adalah suara musik, cukup lembut dan ringat, aku tidak suka dengan musik yang ribut, sangat cocok.

Lalu pelan-pelan nyanyiannya mengalun. Suara si penyanyi serak, serasi dengan lagu yang dibawakannya.

Gireul ilheun tto han sarami,
(Seseorang yang hilang memberiku perasaan,)

Geonne ju ttasehaessdeon geu seolleim,
(Hati hangat yang berdebar,)

Gieogina jakku saenggakna,
(Aku mengingatnya, terus meningatnya,)

Neul gidarin nae sarangiran geol,
(Kamu adalah cinta yang selama ini aku tunggu,)

Wae nan, wae nan molla.
(Mengapa aku tahu?)

Hyorin - Come a Littel Closer.

Kumatikan segera. Aku salah download. Mood-ku menjadi lebih kacau. Apa, sih lagu ini? Apa takdir sedang mengejekku?

God, please, help me.

Kuembuskan napas berat. Tak dapat kutahan lagi luka ini. Pasalnya, di hari yang lalu hatiku sedang berbunga-bunga, dan sekarang malah terluka.

_______

To be countinnue ...

When, Umbrella Called You Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang