I And Dwiraga

157 19 3
                                    

Setelah pengakuan itu, setiap hari Dwiraga seolah mendewikanku. Dia memeperlakukanku persis seperti masa kecil dulu -mengutamakanku lebih dari dirinya.

Berulang kali kucoba menghindar, mematikan kembali harapan untuk memilikinya -sebagai seorang kekasih. Dia tidak cuek lagi. Yang tadinya bersikap tak lebih dari teman sekelas, kini, 180 drajat berbalik. Kecanggungn itu berangsur-angsur hilang. Keadaan kembali seperti dulu.

Dwiraga dan aku, teman, mengobrol bersama dalam tempo yang lebih dari sejam setiap harinya, menungguku saat aku terlambat bangun hanya untuk berangkat berdua.

Sikap manis itu membuatku terbuai. Ga, aku tak bisa menghindarimu dan perasaan ini. Semua mengalir tanpa sanggup kutahan-tahan. Biarlah, kubiarkan saja semua berjalan dengan semestinya.

Hingga pada suatu hari, tepat di hari ketiga puluh setelah pengungkapan itu, Raga mengajakku bertemu di kafe yang sama dan di jam yang sama. Tetapi tentu saja ada yang berbeda-Aku tak lagi canggung padanya.

Pertemanan itu berhasil pulih dengan sendirinya.

Pipiku memanas, dadaku berdegup cepat. Pertemuan kali ini lebih istimewa dari pertemuan sebulan lalu.

"Kau masih belum memberiku jawaban," katanya, membuatku mengulum senyum.

Kerongkonganku terasa kering, pita suara juga seperti keram, suaraku tertahan, dan, aku mengangguk pelan.

Raga tertawa kecil. "Aku ingin jawaban dari hatimu, ungkapkanlah," pintanya menggoda.

Ga, tolong, jangan membuatku merasa lebih malu. Mengangguk saja susah payah kuusahakan, dan sekarang, kau memintaku untuk mengatakan apa yang tersimpan di hati? Aku bingung, tidak tahu harus memulai dari kata apa.

Laki-laki itu menatapku dengan senyum yang kurasa paling manis. "Kumohon."

Kubuang napas panjang beberapa kali. Raga nampak terkekeh. Tak apa jika ia menertawaiku, toh dia tahu betapa susahnya aku bersuara saat ini. Please, please, please, keluarlah suaraku.

"Ga," akhirnya.

Pandangan Raga semakin mendekat, memburu iris hitam dari mataku. "Ya?"

"Sejujurnya ... " kalimatku menggantung sendiri. Sepertinya pita suaraku putus. No, itu tidak mungkin, dan kumohon, jangan sekarang. "Aku juga merasakan apa yang kamu rasakan. Aku juga ingin memulainya seperti dulu. Aku menyesal karena dulu tidak memenuhi keinginanmu untuk sekolah di SMP yang sama. Maafkan aku."

Fiuh, lega sekali rasanya.

Raga melipat tangannya di meja, mengedarkan pandangan ke bagian lain dari kafe, tak melihatku lagi. "Jadi?"

"Jadi ... "

"Aku menunggu jawabanmu. Aku minta sekarang. Kuharap kamu mengerti."

"You and I in love. Dwiraga dan Raline," kalimatku terbata-bata. Awh, kenapa aku selebay itu? Kurasa terlalu terbuka mengatakannya.

"Well, sudah kuduga kamu akan mengatakan ini."

"Hah?"

Raga tergelak. Tawanya seperti digelitiki. Apa yang lucu? Setelah sepersekian detik tertawa, laki-laki itu meneguk kopinya lalu memasang kembali jaket hitam yang ia gantungkan di gantungan jaket di tembok sebelahnya. "Aku pulang, sepertinya sebentar lagi hujan. Kamu juga cepat pulang."

Kukepalkan kedua tanganku erat di meja. Apa ini? Tak ada sedikit saja keromantisan yang ia berikan padaku.

"Kamu marah? Maaf, tapi aku bukan tipe laki-laki romantis. Aku pulang, sampai jumpa."

Dia pamit.

Meninggalkanku? Membiarkanku berjalan di belakangnya? Kemarin tak pernah ia membuatku kebingungan seperti sekarang.

Mood-ku berantakan. Raga melenggang meninggalkan kafe dengan payungnya, dengan mantelnya. Kukira dia akan berubah; membagi payungnya, meminjamiku jaketnya, berjalan berdua di tengah hujan.

Dia sangat misterius dan membuatku sebal.

________

Kupeluk erat selimut yang membungkus tubuhku. Pesan yang kukirim tak satu pun mendapat balasan. Gang sempit yang memisahkan balkon kamarku dan kamar Raga nampak menyeramkan: Gelap, seperti berlendir, dan meninggalkan kesan seram.

Hujan yang mereda membuat suhu bumi turun. Brrr, dinginnya menusuk kulit.

Samar-samar dari dalam selimut -aku sengaja menutupi wajahku dengan seimut, bisa dibayangkan sekarang aku terlihat seperti kue putri malu-kudengar engsel jendela kamar sebelah terbuka.

"Raline, kamu hujan-hujanan lagi?" Suara Raga mengecohku. Game over, ponselku jatuh seketika.

Kubuka selimut dengan kesalnya. Di sana, Raga sedang duduk menertawaiku. "Maafkan aku soal tadi. Lain kali kalau sedang musim hujan jangan lupa pakai mantel dan jika perlu bawa payung. Jangan berharap aku akan meminjamimu. Aku ingin kau berpikir satu hal," katanya setengah berteriak.

"Berpikir soal apa? Ngaku aja kalau kamu pelit, nggak mau berbagi," ketusku.

"Aku sedang belajar."

Aku terdiam. Belajar apa? Kurasa tidak ada yang harus dipelajari.

"Belajar membagi hidupku denganmu. Lebih dari sekedar membagi apa yang kumiliki, tetapi juga membagi apa yang kupelajari. Because, you are my love. I love you, Raline."

Deg.

Jantungku serasa lepas dengan satu tarikan. Raga mengatakan itu? Mencintaiku? Sungguh? Pipiku memanas, kuharap Raga tak melihat rona di kedua pipiku. Dengan jarak sejauh ini tak mungkin ia melihatnya.

Ga, yau make me fall in love.

___________

To be countinnue ....

.

When, Umbrella Called You Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang