Dwiraga Given Me the Rose?

190 19 15
                                    

Entah sudah kuhabiskan berapa gelas teh tawar panas, tak ada efek apapun yang kurasakan, padahal seharusnya aku merasa kembung. Ya, sudah lama aku duduk di gazebo depan rumah dengan seteko teh dan laptop.

Bukan ada tugas aku sibuk dengan laptop, tetapi untuk mengunduh drama yang Medi sarankan padaku. Drama? Sejak kapan aku tertarik dengan drama? Kurasa, sejak ...

Sejak secara tak sengaja kudengar dari ponsel Dwiraga sebuah soundtrack dari drama yang kini kuunduh.

Hidungku terasa membeku. Hawa dingin sisa hujan sore tadi masih melekat di setiap sudut. Aku menggigil. Sejujurnya, aku ingin menghabiskan malam ini dengan tidur pulas di kamarku. Tetapi, hatiku memaksa agar aku berdiam di gazebo saja, siapa tahu Dwiraga mendatangi balkon kamarnya dan aku bisa melihatnya.

Oh, why? Kenapa denganku? Kenapa aku begitu terobsesi dengan pemuda yang sebenarnya sudah dari kecil kukenal. Teman bermainku waktu TK dan SD. Dan, saat memasuki bangku SMP kami saling menjauh, sibuk dengan dunia mansing-masing, hingga sekarang keakraban tak pernah terjadi.

Apa mungkin ini awal? Mengulang kembali persahabatan yang telah berakhir itu? Kenapa rasanya lain, ya? Dulu, seberat apapun kerinduanku kepada Dwiraga tidak sampai membuat gelisah. Apa ada perasaan lain kali ini? Bukan sahabat lagi, melainkan ...

STOP!

Pikiranku terlalu jauh menerawang. Tidak boleh ada kata menyukai karena dulunya kami berteman dekat, sedekat urat nadi.

Tubuhku tiba-tiba menegang. Demam yang sebenarnya semakin buruk seolah tak berasa apa-apa. Di sana, di balkon kamar, Dwiraga berdiri dan melambai padaku. Dia tersenyum?

Tsk!

Demi apapun itu, tolong, jangan biarkan aku terbang ke angan yang tidak layak untuk kujamah. Kubuka mantel pink-ku, sekarang tubuhku merasa gerah. Mungkin demamnya sudah berada di puncak.

"Jangan berlama-lama berdiam di sana. Nanti demammu tambah parah. Dan, kenapa kau membuka mantel?" Teriaknya.

Kututup laptop dan bergegas pergi. Demamku semakin parah bukan karena udara dingin, melainkan karena dirinya.

_____

Sebuah buket mawar tergeletak di depan pintu. Kuamati sekeliling, mencari siapa yang sudah menaruhnya sembarangan di sini. Pagi-pagi begini cuma orang kurang kerjaan yang melompat pagar rumah orang hanya untuk menyimpan bunga di depan pintu.

Kuambil bunga itu, di sana sudah bertuliskan nama si pengirim, Dwiraga teruntuk Raline. Tawaku berhambur. Dwiraga mengirimiku bunga? Mataku teralihkan pada sebuah surat yang menyelip di dalam bunga itu.

Apa kabar?

Sudah lebih dari empat tahun tidak bertegur sapa denganmu. Ini aku, Farrel Dwiraga, teman masa kecilmu, kau ingat?

Tak apa jika kau tidak ingat, yang jelas, aku selalu mengingatnya. Mengingat kau dan masa kecil kita.

Jika berkenan, kumohon, temui aku di kafe Memori sepulang sekolah.

Tertanda,
Dwiraga.

Mataku reflek tertutup. Kukira selama ini Dwiraga sudah melupakan pertemanan itu. Kuharap apa yang tertulis di sobekan kertas itu tidak bohong. Dan, dari tulisannya, ini memang tulis tangan laki-laki itu.

Kenapa dia mengirimiku surat, padahal di kelas nanti juga bisa langsung mengatakannya? Apa dia gengsi mengatakannya langsung? Wajar, sih, meskipun satu kelas, aku dan Dwiraga seperti orang asing. Sering kali aku mencoba membuka obrolan dengan dia-berharap ada celah kecil yang membuka pintu pertemanan itu lagi, tetapi selalu gagal. Aku terlalu kaku padanya.

Biasanya ketika berangkat sekolah Dwiraga selalu berada di depanku. Kali ini sepertinya dia kepagian berangkat sekolah. Mungkin naik sepeda atau jalan kaki. Jangan salah, Dwiraga jalannya cepat.

Aku duduk di halte bis -malas sekali jika harus berjalan kaki. Bis pun datang, secepat yang kubisa aku naik dan ... no, this is so bad. Dalam sejarah hidupku, baru kali ini aku tidak kebagian tempat duduk. Apa jangan-jangan sunrise sudah lewat? Padahal, langit di luar sana masih gelap.

Selang lima menit. Aku turun dari bis sekolah. Untung saja aku tidak terlambat sekolah hari ini. Dengan terburu-buru aku berlari menaiki anak tangga, di menit-menit terakhir begini tak ayal jika para siswa sepertiku akan mempercepat langkah. Kaku di kakiku tak kuhiraukan. Masa bodoh, aku harus sampai di kelas sebelum jam 07:00. Tiga menit lagi.

_______________

To be countinnue ...

.

When, Umbrella Called You Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang