Sedari tadi kutahan agar tidak terjadi kontak mata dengannya, rasanya ada yang mengganjal. Berulang kali kusibakan poniku, merapikan rambut agar tidak kusut saat bertatap wajah dengan dia.
Kupijakan kakiku di teras kafe. Dari kaca bening kulihat perawakan Dwiraga sudah duduk manis di sana. Kusentuh dadaku kuat-kuat sebelum membuka pintu.
Sesampainya di meja yang Dwiraga janjikan, aku duduk, mencoba santai meski sebenarnya tubuhku bergetar hebat. Fiuh, perasaan apa ini?
Dwiraga menatapku sekilas lalu meneguk kopinya yang sudah ia pesan, untuk dirinya dan untukku. "Bisakah kita mengulang?" Katanya tiba-tiba.
Aku tertegun, tubuhku kaku semua. "Mengulang apa?"
"Mengulang masa lalu. Dimana hanya ada aku dan kamu. Melakukan banyak hal berdua. Bersenang-senang seakan tak ada jeda diantaranya."
Sekuat tenaga kucoba bersikap rilek, tetapi bokongku tidak betah duduk di sofa kafe. Aneh. "Teman maksudmu?"
Raga menggeleng, kedua tangannya saling mengepal, menatapku lebih intens -dan itu membuatku semakin gugup. "Ya, teman. Kurasa, lebih dari sekedar teman, bagaimana?"
Glek.
Teman yang lebih dari sekedar teman? Pacaran maksudnya? Aku syok bukan main atas penyataannya itu. Berteman, menghilang, lalu berpacaran. Alur jenis apa itu?
"Aneh, ya? Aku tahu ini sulit dipercaya. Selama bertahun-tahun menjadi orang asing di hidupmu lalu secara tiba-tiba mengatakan perasaan lebih dari teman memang konyol, aku akui. Tetapi, jauh lebih dalam lagi, lebih dari sekadar menyukaimu, ada sesuatu yang terselubung. Aku menyayangimu. Aku cemburu saat ada laki-laki yang mencoba menyentuh hatimu. Tapi aku tak berdaya. Aku hanya orang asing dihidupmu. Dan, kamu tahu?" Jeda sejenak. Raga menahan napas agak lama lalu membuangnya. "Sudah lama aku menantikan ini."
Aku tergelak tak sengaja. Aku masih tak percaya. Perasaanku dan Raga bertemu di waktu yang tepat. Tak kuelakan, aku juga merasakan persis seperti yang dia rasakan. Tetapi?
Please, Ga, sebaiknya kita simpan saja perasaan itu di hati masing-masing. Kurasa, itu lebih baik daripada kita saling mengungkapkan, kemudian pacaran, putus, dan kembali menjadi orang asing, mungkin setelah itu akan lebih parah lagi dari ini.
Dwiraga, aku tak ingin kehilanganmu lagi, sungguh.
_____
Aku termenung di balkon kamar. Sore tadi tak kuberi jawaban atas pengungkapan Dwiraga. Jika kembali sebagai teman, not problem. But, kembali sebagai sesuatu yang lebih jauh membuatu berpikir dua kali.
Memulainya sebagai teman saja sangat sulit apalagi jika harus sebagai pasangan. Dimulai dari mana?
Kulihat pergerakan dari jendela balkon di depanku. Seorang laki-laki keluar dari sana. Dari jendela? Kurasa pintu ada di samping jendela, kenapa harus lewat jendela?
Laki-laki itu tak acuh. Ia merongoh ponselnya di saku jaket, lalu dengan pergerakan tangannya, sepertinya sedang mengetik.
Klung.
Ponselku berbunyi. Satu pesan masuk kuterima dari ... Dwiraga?
Farrel DR : Jadi, bagaimana? Mau memulai?
Kuembuskan napas panjang. Mematikan ponsel sengaja. "Wah, hapeku mati," kukeraskan suaraku agar Raga mendengarnya. Kulirik dia sekilas, wajahnya datar, memandangku seakan mengintrogasi, lalu kubuang muka dan masuk ke kamar.
Kujatuhkan tubuhku ke kasur. Apa ini tidak terlalu berlebihan? Apa tidak terlalu cepat?
Kudengar dari arah luar, sesuatu mengenai kaca kamarku. Aku bangun, mengecek keadaan dengan membuka sedikit goren cokelat terang kamarku. Kulihat di luar sana, sebuah benda asing. Kiriman elienkah?
Sebelum membuka pintu kupastikan dulu bahwa Dwiraga tidak ada di balkonnya. Dan, tepat, laki-laki itu sudah lenyap. Kubuka pintu pelan-pelan, mengambil benda itu cepat dan kembali ke kamar.
Permen jahe?
Sebuah kertas?
Kamu masih demam, ya? Permen jahe ini setidaknya bisa membuatmu hangat. Jangan dibuang.
Aku mendengus, menjatuhkan diriku di sisi kanan dipan. Lemas, perhatian Dwiraga sama seperti waktu aku masih kecil. Di tidak melupakannya.
Dulu, ketika musim penghujan, setiap sore, aku mengendep-endap mencari celah agar bisa keluar dari rumah, berbekal payung, jas hujan, dan sepatu bots. Kami bersenang-senang di bawah hujan, di luar pagar rumahku, bersama Dwiraga, merasakan cipratan air yang mengenai wajah.
Segar.
Tetapi Dwiraga tidak pernah memakai perlengkapan sepertiku. Hingga, ya, aku melepas jas hujan dan menanggalkan payung. Kemudian berlari-lari dengan bebasnya.
Dan, malam harinya, suhu tubuhku naik, membuat papa dan mama mengomel. Aku tidak peduli. Setiap jam tujuh dari arah balkon kamarku, subuah suara membangunkan, membuatku penasaran
Permen jahe dan secarik kertas. Dwiraga melakukan itu setiap hari sebelum dia hilang setelah daftar masuk SMP. Semenjak saat itu aku tak pernah menemuinya di balkon kamar atau disaat hujan. Aku sudah kehilangan.
Apa harus kumulai kembali?
__________
To be countinnue ...
.
![](https://img.wattpad.com/cover/102014206-288-k441266.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
When, Umbrella Called You
Короткий рассказCepat mencintai, cepat pula melepaskan. Semacam sedang menikmati ice cream lalu diberikan jamu sebagai penutup. Aku yakin, manisnya hilang dalam sekejap. Apa kau percaya dengan kalimat .ini, 'orang datang sesuai masanya, ia hadir bukan tanpa alasan'...