I'm, Space, And Dwiraga

139 21 13
                                    

Tepat jam tujuh malam, aku sudah berhadapan dengan pintu kaca kafe. Sedari tadi kukontrol debaran jantung yang gaduh tiba-tiba. Perasaanku tidak enak sekarang. Kurasa sesuatu yang buruk sedang menanti.

Raga sudah menunggu di dalam kafe, di meja yang sama dengan yang sebelum-sebelumnya. Laki-laki itu terlihat bosan, ia menopangkan kaki kanannya di atas kaki kiri sambil mengelus-elus gelas kaca yang berisi kopi.

Kuberanikan masuk, membuat langkah pendek agar tidak cepat sampai. Raga menatapku seperti biasa. Tak ada yang mencurigakan dari matanya itu. Kududuk pelan-pelan, berhadapan dengan laki-laki itu.

"Syukurlah, kamu nggak telat hari ini," katanya membuka pembicaraan.

"Ya, aku sudah mengusahakannya. Sejujurnya, hari ini aku punya dua acara yang harus dihadiri," ucapku berbohong.

"Owh, jadi kamu maksa buat datang menemuiku?"

"Nggak kok, maksudku ... " kubuang napas, mengambil jeda cukup lama dalam kalimatku dan sepertinya Dwiraga menunggu. "Aku sudah me-manage-nya. Jadi, nggak perlu khawatir acaraku berantakan."

"Baiklah, aku ingin alasan masuk akal darimu."

Keningku berkerut. "Alasan apa?" Jantungku mulai ribut, membuat irama rock yang sebenarnya tidak enak dijadikan sebuah irama.

"Alasan kenapa akhir-akhir ini kamu seperti yang nggak percaya. Apa aku mencurigakan di matamu?"

Aku menggeleng. "Nggak. Aku cuma takut kamu akan menyukai gadis lain selain aku. Karena kudengar ada wanita yang menyukaimu juga selainku."

Raga menyeringai, mulutnya tertutup rapat meski sebenarnya ia ingin tertawa. "Lalu kamu beranggapan kalau aku akan balik menyukainya?" Dwiraga menatap intens mataku.

Kepalaku menunduk, bertatapan dengan lantai dingin sepertinya lebih baik.

"Kenapa kamu nggak percaya padaku? Kenapa kamu gak percaya kalau aku sudah memilihmu. Harus kamu ketahui tentang diriku yang belum pernah kutunjukan pada siapa pun. Aku laki-laki, aku nggak akan semudah itu melanggar hakikatku. Jika kamu cemas gadis itu bakal merebutku darimu, kurasa memorimu harus di-restart. Jika gadis itu bisa membuatku meninggalkanmu, harusnya sekarang aku sudah punya dua atau tiga gadis simpanan. Apa aku harus menunjukan surat-surat yang kuterima dari gadis-gadis yang menyukaiku?" Suara raga mengalun tenang, tetapi begitu menekan, membuat lidahku kelu untuk membantahnya.

Air mataku jatuh mengenai tangan yang mengepal di atas paha. Kenapa aku menangis? Bagian manakah yang sedang terluka?

"Raline," panggilnya.

Aku mendongak, memperlihatkan mataku yang terasa perih. "Ya?"

Raga menunjukan sebuah tissu yang bertuliskan namaku dan namanya. Kemudian pelan-pelan memisahkan nama itu.

Sungguh, kali ini aku tak bisa berpura-pura tidak mengerti. Air mata mengalir di pipi, sementara mataku masih tak berkedip menyaksikan bagaimana Raga memisahkan nama di tissu itu.

"Jangan menangis. Secengeng apapun kamu cobalah untuk mengerti maksudku ini."

"Jelaskan apa maksudmu memisahkan aku dan kamu?! Kurasa nggak ada permasalahan besar yang harus mengakhiri hubungan ini. Kamu tahu 'kan bagaimana susahnya kita memulai dan sekarang kamu mengakhirinya semudah itu?"

Biarlah, aku tidak peduli jika Raga melihatku menangis dan mengucap kalimat permohonan. Yang jelas, dia harus tahu betapa aku sudah jatuh kepadanya.

Raga meneguk kopi tanpa meresponku. Dia berdiri yang kemudian pergi dari hadapanku. Putus tanpa alasan, sangat tidak manusiawi.

Tidak!

Aku tidak akan membiarkan dia pergi begitu saja. Aku yakin hatinya akan tersentuh jika aku sedikit berdrama. Aku pun berdiri dan mengejar Raga. Sampai di teras langkahku mendadak terhenti, hujan menahannya dan Raga sudah jauh dariku dengan payungnya.

Kali ini aku tidak akan kalah dari hujan. Kuterobos derasnya hujan, melepas high heel dan menjingjingnya. Tak boleh apapun menggangguku sekarang.

"DWIRAGA!"

Laki-laki itu berhenti. "Kamu masih belum paham, ya?"

Kususut wajahku yang basah oleh hujan, mataku semakin perih, air mata dan air hujan menyatu membuat luka mendalam yang baru saja tergores. Terlalu sakit menerima jawaban yang tidak kupahami sepenuhnya. "Kumohon, tolong, katakan apa salahku?!" Suaraku serak.

Raga menggedikkan bahu dan melanjutkan langkahnya.

Sejahat itukah dia? Ya, dia sangat jahat. Lebih buruk dari yang manusia terburuk sekali pun.

Tangisku pecah, langkahku terseret-seret. God, aku terluka. Aku menyesal telah menerima tawarannya untuk memulai. Sungguh!

__________

To be countinnue ...

.

When, Umbrella Called You Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang