Nura

7 2 0
                                    

Disinilah aku berada, di sebuah tebing menghadap kelaut lepas.

Sekali lagi aku berpikir untuk terjun, mungkin takkan terasa sakit hanya akan sedikit perih ketika rongga dada termasuki banyak air dan tidak lama aku akan melayang.

Sentuhan...

Ada yang menyentuhku, sebuah tangan menggenggam tanganku seakan menyadarkanku bahwa aku mulai berpikir yang tidak-tidak. Dia tersenyum, aku harus kuat. Gadis dihadapanku pun mampu, kenapa aku tidak bisa.

Aku suka dirinya, aku suka kepribadian Nura. Apakah kalian akan senang jika seseorang perhatian pada kita lewat tindakannya bukan kata-kata? Itulah Nura.

Aku lebih tenang ketika aku menangis dipeluk, tanganku di genggam dan ada yang membelai rambutku daripada banyak bicara menasihati yang sulit untuk dilakukan. Mudah diucapkan bukan berarti mudah juga dilakukan.

Nura, dia seorang tunawicara.
Bukan aku bahagia karena dia tunawicara, namun aku menganggap inilah kelebiban Nura. Dia lebih sensitif dan cepat bertindak daripada yang lain, dia tahu perasaanku tanpa aku memberitahunya. Saat bersamanya aku tidak perlu bicara, hanya saling bertatap seolah kami bicara lewat mata.

Dia berjanji mengabdikan dirinya untukku, bukan karena uang. Sama sekali bukan, hanya karena suatu hal.

Dia menatapku lalu beralih menatap mobil, aku tahu dia menyuruhku untuk pulang. Dia khawatir aku akan terjun. Tidak Nura, aku baik-baik saja selama orang-orang sepertimu masih ada di sampingku.

Dia tersenyum, pasti dia tahu apa yang barusan aku ungkapkan. Dia kembali menatap lautan, dia pernah berada diposisi putus asa sama sepertiku. Aku juga pernah diposisinya sekarang, dulu dua tahun yang lalu.

Kita akan menghadapinya bersama.

Kukira dia akan menjagaku, nyatanya sekarang dirinyalah yang lebih menikmati angin yang menerpa wajahnya, berdiri lebih lebih depan dariku. Dia sangat cantik ketika memejamkan matanya, dirinya yang polos seperti dulu tergambar jelas. Tak seperti sekarang yang lebih menampakkan sikap dingin pada lingkungannya, kecuali diriku.
***
Aku bukan orang yang lemah, aku lebih kuat dari yang orang tahu. Tapi aku juga lebih lemah dari yang orang tahu jika mereka tahu apa kelemahanku. Aku tidak sesuci dan sepolos itu menikah dengan Ricky hanya karena harta dan cinta. Bulshit!

Kalian takkan percaya...

"Aku pulang..."

"Selamat datang putriku, aku sudah memasakkan makanan kesukaanmu" Bibi tua ini mengisi kekosongan ibuku yang membenciku, kurasa dia mungkin lebih baik. Mungkin!

"Baiklah, terima kasih em" aku akan memeluknya, menghirup udara disekitarnya membayangkan kalau dia ibu.

"Dimana Nura, dia juga harus makan" aku menunjuk pintu masuk dimana Nura sedang berdiri menyender ke pintu. Dia berjalan menghampiri kami. Bukan, dia bukan menghampiri kami dia terus berjalan keruang makan. Dasar bocahhh!

"Heh, itu makanan untukku" makanan yang hampir masuk kemulutnya kembali ketempat semula karena aku memukul pergelangan tangannya yang tidak siap dengan sedikit tepukan dari tanganku, lemah!

Dia melototkan matanya, mengambil lagi dan langsung dimasukkan kedalam mulutnya dan berlalu.

"Hahahha...ppfffttt" dia benar-benar menggemaskan ketika kesal.

"Kalian ini" Emma hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kelakuan 'anak-anaknya'.

Belum puas menghodanya aku mengikutinya ke ruang tv, dia sedang melihat berita. Aku mengambil alih remote nya dan mengganti chanelnya dengan acara kartun, entah apa. Dia mendelik sebal, mengejarku yang   beberapa detik sudah lebih dulu lari.

"Kau terlihat bahagia" kami kompak melihat kearah pintu yang tidak tertutup, dan melihat siapa yang datang... tidak mungkin dia kesini. Untuk apa? Bukankah dia...

JUST HURTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang