Nura POV 2

4 2 0
                                    

Saat fajar aku sudah bangun, lagi-lagi Evelyn yang mengajarkanku. Terlambat bangun berarti aku terlambat segalanya.

Hari masih gelap tapi rumah ini sudah ramai, suara senjata Emma didapur dan yang memilukan suara alunan piano menyayat hati dari Evelyn. Dia wanita yang kesepian, atau dia yang menyepikan diri?

Evelyn siapa kau sebenarnya?

"Nura, kenapa kau diam?" Ah aku tidak sadar dentingan pianonya sudah berhenti dan orangnya berdiri dihadapanku.

"Emma sedang main drum, aku piano" menunjuk dirinya sendiri. "Biasanya kau bermain dengan pisaumu?" Aku menggeleng dan tersenyum, dia sedikit terkikik.

Main drum apa maksudnya? Emma hanya sedang bergelut dengan panci, penggorengan, dan semacamnya yang menimbulkan suara gaduh berlebihan pada acara masaknya. Dasar! Aku juga ikut tertawa hampa, tanpa suara.

Drrrt drrrrt drrrtt...

Evelyn segera merogoh saku piyamanya, ada telpon rupanya.

"Halo, siapa?"

Matanya melebar dan mengembun, ah salah maksudsu matanya mengeluarkan air.

"Bagaimana bisa?"
Dia terdiam lagi, air matanya meluncur. Akhir-akhir ini dia sering menangis. Ada apa?

Dia terduduk lemas, ada penyesalan. Tangannya mengepal penuh amarah, dia bergegas berdiri menuju kamarnya dilantai dua, tapi dia berhenti ditengah tangga.

"Bersiaplah, pakai baju duka kalian" bukan perintah pada kami, dia seperti memerintahkan pada dirinya sendiri.

Tanpa pikir panjang aku dan Emma mengakhiri kegiatan yanh sedang dilakukan, lebih tepatnya Emma, karena aku sedang tidak melakukan apa-apa.
***
Sekarang aku mengerti kenapa dia menangis, disini kami berada di rumah duka, di rumah ibunya. Ya, ibunya meninggal. Serangan jantung.

Sudah lama aku tidak bertemu dengannya, dia wanita yang sangat baik. Nyonya Fany selamat jalan.

Evelyn benar-benar berduka, ada penyesalan ditangisnya. Apa dia menyesal telah mengecawakan ibunya? Eve kau harus tegar.

Tidak banyak yang datang, hanya tetangga apartemen sederhananya. Tapi ada yang sedikit tidak beres dengan kematian ibunya, serangan jantung? Setiap bulan nyonya Fany selalu memeriksakan paru-parunya bukan jantungnya.

Tidak mungkin evelyn...

"Kumohon bu...." dia terus saja meracau, badannya sudah sangat lemas. Disampingnya kedua adik laki-lakinya termenung melihat kearah wajah ibunya, kenapa harus mereka...

"Aku harus bagaimana?" Ucap adiknya, masih terus menatap wajah ibunya. Evelyn berbalik dan langsung merangkul kedua adiknya, diciuminya kepala mereka satu persatu sambil terus menangis.

"Ada kakak disini" ucapnya, seakan berbicara pada dirinya sendiri, meyakinkan bahwa dirinya kuat. Evelyn yang malang...

Lebih baik aku keluar sebentar...

Ketika itu aku melihat perawakan seseorang yang sangat aku kenali, dia menyeringai padaku. Dan sekarang aku tahu siapa dibalik kematian ibunya Evelyn, wanita berkacamata hitam. Aku tahu dia seperti apa, dia tidak ada bedanya dengan Evelyn.

Aku harus bicara padanya, dengan cepat kutarik dia menjauhi rumah duka.

"Hy Nura Fransisca" dia tersenyum lalu membuka kacamatanya.

"Kuharap kau bisa mengaca dimataku jadi kulepas kacamataku" dia pasti mengerti apa yang sedang aku pikirkan.

"Kuharap juga kau tidak lupa kita tidak ada bedanya" aku jengah, dia mulai membual.

"Oh ya kapan kau akan menikah dengan Lucky? Aku bersedia mencarikan wali untukmu" jangan harap aku melupakannya perempuan licik.

"Oh ayolah, kita sudah lama tidak bertemu jangan memusuhiku seperti itu" dia mulai merengek, lucu. Bagaimana seorang pembunuh bisa merengek seperti anak kecil seperti itu.

"Nura..." aku segera memasangkan kacamata wanita licik ini, dia pun mengerti dan segera berlalu.

"Siapa?" Kenapa dia masih perduli masalah itu walaupun matanya sudah sangat sayu.

Aku menggeleng, bukan siapa-siapa dia hanya....

JUST HURTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang